Gambar, baur, pengkarya, permainan dan akumulasi

Cecil Mariani

Tulisan ini awalnya merupakan pengantar pameran Ugeng T. Mutidjo di Galeri Kertas tanggal 27 Oktober 2019


gambaur oleh Ugeng T. Moetidjo adalah reka permainan mengurai-sandikan rangkaian pengalaman realitas di kota hingga pengasingannya di peristiwa pameran. Judul ini sebuah karya yang harusnya paling kentara di ujung tombak pameran, namun di praktik-praktik pameran pada umumnya sering dianggap non-karya atau tak langsung kentara sebagai karya’. gambaur adalah judul sekaligus salah satu perkakas cerap kita untuk menemukan ragam permainan yang Ugeng dan yang non-Ugeng di antara agen benda-benda, agen subjek, agen makna maupun agen pengalaman dan agen loakan majalah dan kemasan. Dari gambaur, yaitu reka-bahasa, yang kentara kita bisa menjelajah tak hanya ke karya-karya Ugeng dan karya-karya non-Ugeng yang diimplikasikan olehnya di peristiwa ruang galeri. Hal yang tak kentara tapi hadir dan ditawarkan, barangkali juga perlu banyak dibicarakan.

Seperti janji yang terkandung pada judul, kita menemukan rupa-rupa gambar di galeri dikemas dalam sebentuk akronim judul. Gambar bisa jadi bentuk reka-tanda permainan yang umumnya diharapkan untuk dihasilkan disiplin tubuh seorang pengkarya atas medium kertas. Yang umumnya diharapkan selayaknya akronim, bisa mensinyalkan rambu generalisasi yang menjangkiti realitas asumsi kita dalam memirsa pameran tetapi sekaligus bisa menopang pameran-pameran tetap limpah ada dan terselenggara. gambaur menawarkan tak hanya kategori terduga di luar objek ‘gambar’; ia juga menawarkan kontradiksi bawaan dalam reka keterhubungan karya, berkarya dan pengkarya serta sosialitas di sekitarnya. Kontradiksi yang ‘baur’ berpotensi otonom untuk mereka ulang keterhubungan agen, benda fisik hingga ke wacana gagasan. Bagaimana praktik mereka-reka ini merangkaikan subyektifitas, kerja dan peristiwa menjadi tatanan pengasingan makna baru yang menawarkan imajinasi?

Ciri ‘baur’ dalam gambaur adalah yang kentara dan yang tak kentara. Rangkaian keterhubungan dan proses reka yang tak hanya berkelindah namun juga tak terbedakan (undifferentiated). Peristiwa antara kerja dan benda-benda sejak pra hingga pasca pameran. Yang tak terbedakan tapi meniscayakan keterhubungan dan mereka-reka keterhubungan lain. Reka keterhubungan antara aktor dan agen di sistem produktifitas kota, galerikertas, studi waktu di bingkai gambar dan yang dibingkai oleh jendela, gambar bersubjek kawan dan yang karib bagi pengkarya pada balik sampul DVD, juga yang asing dan tak asing dari pilihan-pilihan sampul, kemasan, dan produk-produk karya industri di atas kertas dan karton yang akan kita temukan di pengalaman pameran.

Di sini benda gambar-gambar—baik yang diimposisi pengkarya maupun gambar yang diterakan salinan identitas produksi industri, panduan manual komoditas, majalah lama dan rekaan origami dan objek-objek termasuk para agen yang ‘baur’yang terhubung dan terakumulasi sejak sebelum pameran, selama pameran hingga purna-peristiwanya. Yang tak terbedakan bukan karena keterhubungan ini tidak ada namun justru karena ia begitu produktif sebagai sistem makna dan sistem kerja ia beresiko tak diidentifikasi dalam keseluruhan pengalaman kita.  Bagaimana yang ‘baur’ (undifferenciated) antara artefak kebendaan sehari-hari dan benda pameran kemudian bisa ditiriskan dari kebaurannya? Saya kira motif pertanyaan yang sama mendorong Ugeng menggabungkan kata ‘gambar’ dan ‘baur’ sebagai tak terpisahkan dalam ‘gambaur’, sekaligus yang bisa disiangi bentuk asal pemisahan baurnya.


Bermain yang ‘baur‘
Ugeng lebih suka menyebut berkarya sebagai bermain. Ia tahu betul bahwa permainan adalah reka-cipta sistem, bahwa semua sistem mengasumsikan ragam bentuk permainan aturan/ eksperimentasi keterhubungan untuk bisa berfungsi kerja sebagai sistem yang utuh. Di atas itu semua, yang penting dari permainan adalah bentuk interaksi, insentif agar interaksi berkesinambungan, insentif afektif; barangkali kepuasan, kegembiraan, keceriaan yang bisa diumpan balik ke sistem permainan sosial serta ketekunan dan keseriusan sukarela menjalaninya.

Bila permainan adalah karya, maka tiap objek karya adalah tawaran sistemik, dan sebaliknya, sistem adalah permainan rekaan karya dan akumulasi karya-karya permainan. Kerja-karya-bermain ini adalah mekanika yang ‘baur’ dengan keseharian pengkarya dan kita. Hal yang seringkali kita tak pertanyakan. Persis seperti kebauran batas yang kita hadapi dengan menggelincirkan diri dalam polaritas pembedaan. Batas antara hidup dan kerja, antara kerja dan non-kerja, karya dan non-karya, seni dan non-seni. Keterhubungan dan keutuhan antar ketegangan, antar kontradiksi, dan hal-hal yang menopang persistensi pembedaan selalu pasti merupakan bentuk-bentuk permainan yang berkesinambungan. Permainan yang terus produktif akibat ‘ketegangan’. Alih-alih kita terpaku pada simpul objek benda seni dan sifat kebendaan dari gagasan di ruang pamer, kita bisa tak mengabaikan reka produksi keterhubungannya—yang sejatinya tak kurang juga dari bentuk karya, rangkaian sistem permainan yang digagas pengkarya bersama-sama dengan keterhubungan sosial dan laku kultural tubuhnya. Pertanyaannya kemudian, permainan-permainan apa yang kentara dan yang tak kentara—karena kita menjalaninya seperti sesuatu yang normal dan alamiah?—ataukah seperti Ugeng, kita memilih, memilah, menyadari, kemudian mengekstrapolasi permainan-permainan baru?


Permainan yang ‘baur’: antara pengasingan atau penormalan?
Perkakas permainan berpikir yang kentara berikutnya adalah praktik memilih, menyortir, mengoleksi material yang tidak serta merta kentara sebagai material pengkarya. Memulung dengan niatan sebagai praktik pengasingan (alienasi). Mensyaratkan asumsi terhadap “yang normal” atau mencari “yang umum”; konteks penyebab apa yang kentara menjadi tak kentara dan sebaliknya. Praktik biasa yang membaur di antara kaum pengkarya, pemirsa karya, penggiat realitas karya, termasuk kurator, penyelenggara pameran dan pemilik galeri dan insan-insan seni lain melakukannya, tak ubahnya praktik pemulung namun dengan agenda yang berbeda. Bagaimana mengalami peristiwa seni sebagai jelajah ketegangan antara mengasingkan atau menormalkan objek dari satu pengalaman ke pengalaman lain.

Permainan Ugeng mengalienasi objek-objek materinya adalah permainan kompetensi disiplin artistik. Permainan membangun keseluruhan rangkaian gambaur di atas pijakan tantangan untuk media kertas, dari baur gambar ke praktik memilih media dan kombinasi keduanya, merekakan-sintesis keterhubungan memori neuro-motor jemarinya dengan teknik origami dan merekakan keterhubungan dengan benda-benda yang dipilih hingga mengalienasi penyajiannya di galeri.  Dari alienasi ‘baur’1 ketika  mencari, memilih mengkoleksi materi, koleksi mainan, mengoleksi, menculik kemasan karton, dan benda-benda dari sirkuit komoditi asalnya. Sirkuit yang menguasai sistem keluarga, kota, kerja, sekolah—‘ke ‘yang baur’2 yaitu reka keterhubungan kenang terkait dan origami.  Ekspresi afektif seniman pada materi antar-muka kota dan relasi-relasinya terhadap ruang, waktu dan sosial adalah sesuatu yang produktif dengan menggunakan alienasi sebagai modus atau jalan.

gambaur Ugeng mengimposisi material yang dilekati fungsi-fungsi komunikasi industri. Bahan-bahan yang pernah atau dimaksudkan menjadi antarmuka konsumsi masyarakat kota. Gambar-gambarnya pun ‘asing’ untuk benda-benda tersebut. Sebagaimana benda-benda industri yang dijumputnya terpilih karena ia tak asing di keseharian namun sekaligus ia agen ‘asing’ yang dibutuhkan untuk permainan pengkarya. Benda ‘asing’ ini mendapat pengasingan baru di rangkaian makna yang baru di bingkai narasi pengkarya. Alienasi berikutnya tentu adalah proses mereka-rekakan rangkaiannya di galeri

Tak hanya mengalienasi dengan gambar, di karyanya yang lain ia menawarkan praktik melipat dan mengkonstruksi sebagai alienasi. Praktik alienasi lewat lipatan, memisahkannya dari kondisi awal ke tatanan tubuh karya yang dirakit keterhubungannya antara karya, ruang, sosialitas dan pengkarya. Dalam hal ini, pengkarya melakukan proses intervensi asing. Yang saya maksud intervensi asing di sini bahwa kertas tidak bisa (atau belum bisa) menggambar, mengonstrukasikan atau mengorigamikan dirinya sendiri tanpa encounter dengan yang asing (manusia). Intervensi manusia atas perekaan zat atau benda bukan hal yang baru dan bahkan yang normal. Tapi sudut pandang pengasingan ini justru keserta-mertaan bias manusia dalam menyeleksi yang kentara. Bias kita menggerhanai agensi non-manusia, benda dan vitalitas materi yang berperan mengarahkan corak intervensi manusia terhadapnya. Beberapa contoh untuk dibayangkan, bagaimana kita menutup kemungkinan bahwa bukan tumpukan majalah lama yang justru membujuk Ugeng untuk menjadikan mereka bagian dari gagasan karya “After Crantz and Stern are dead?”. Kemasan keyboard pun punya operasi “baur” yang dalam gestalt negatifnya bisa membujuk gambar tertentu untuk digambarkan Ugeng di situ—dan bahwa gestalt sebuah kemasan keyboard juga pada awalnya dihadirkan oleh rangkaian alienasi rancangan industri—sebuah permainan panjang yang lain yang di dalamnya kita semua juga pemain. Realitas pameran di galerikertas ada karena kerjasama benda-benda seni, fondasi bangunan dan setiap bata yang menyusunnya. Objek atau benda dipisahkan dari tatanan keberadaannya, berproduksi dengan sifat materialnya, dipekerjakan oleh pengkarya dan sosialitasnya sehingga ia mampu beraksi sebagai “benda seni” yang bermakna dan mungkin berjender.

Akumulasi permainan alienasi oleh akumulasi yang ‘baur’
Permainan karya-karya yang non-Ugeng lalu dimungkinkan untuk bermunculan dari akumulasi permainan alienasinya di tatanan yang sebelumnya. Ini proses riak baur 2 yang muncul sebagai alienasi ‘yang baur’ ke 3 di mana kita bisa melihat agensi permainan karton dan kemasan, yang poten dengan jejak fetis komoditas, narasi dominan, antarmuka kota dan rantai alienasi ikut menyelipkan makna dan performatifitas di tatanan baru keterhubungan tempat mereka direka/ dibongkar-rakit ulang. Kita bisa saja menemukan diri kita meresponsi materialitas pilihan atau pada jenis teks teraan pada materi-materi pembentuk objek pameran. Bahan atau objek tertentu punya daya ‘memanggil’ dan ‘muncul’ secara acak di luar maksud dan niatan pengkarya selaku pelaksana realitas pameran.

Bila kerja diasumsikan sebagai hal yang memaknai manusia, kerja apa yang dilakukan objek sehari-hari sehingga kemudian ia dimaknai sebagai objek karya (identitasnya kemudian bergantung pada pengkarya)? Bagaimana objek seni memaknai balik kerja manusia: kaum pengkarya, penyelenggara peristiwa seni dan pemirsanya?  Bila kerja berkarya diasumsikan sebagai hal yang melekatkan makna kaum pengkarya terhadap subjek pelakunya, kerja apa yang dilakukan kertas dalam ragam manifestasi bentuknya hingga ia dimaknai sebagai objek seni? Bagaimana kerja non-berkarya bisa kentara di dalamnya? Bagaimana objek-objek berbasis kertas sehari-hari memaknai balik keberkaryaan Ugeng, memaknai program galerikertas—yang menyoal objek kertas sebagai media—juga memaknai pemirsanya kelak selama pameran dan seusainya? Bagaimana interaksi dan tatanan relasi ini menawarkan tatanan keterhubungan baru? Bagaimana tatanan relasi bisa direka cipta dari objek-objek itu.

Lewat yang asing dan yang baur ini, pengasingan di subjektifitas pengkarya dan non-pengkarya menciptakan pengalaman kebendaan, juga pengalaman menjadi manusia, menawarkan antarmuka makna baru terhadap realitas atau menawarkan realitas baru sekaligus. Alienasi mengasumsikan ada laku kekuasaan yang bergerak ke arah pemisahan/ pengasingan tertentu—di konteks ini dari ketegangan kontradiktif tatanan keseharian dan tatanan galeri yang dialienasi sekaligus dibaurkan.

Dalam konteks keseluruhan, gambaur beroperasi dengan productive power yang bermain ke segala arah terlepas dari ekspektasi normatif kita atas ruang galeri yang justru seringkali mengekang produktifitas semacam itu. Yang ‘baur, yang tak kentara dari yang kentara pada praktik seni tentu akan kita ulangi dan reproduksi lagi selepas pameran. Dengan ‘yang baur’ sebagai perkakas bermain, kita bisa turut membongkar pasang hasil akumulasi permainan Ugeng sekaligus menyiangi permainan lebih besar yang juga mengakumulasi kita semua. Bagaimana bentuk permainan meloloskan diri dari keniscayaan yang ada di sistem yang lebih raksasa—karena masifnya jumlah agen yang bersedia turut bermain—dan apa misteri dari yang non-produktif? Bagaimana bentuk permainan label seni, kerja seni, atau pemisahan terbedakan antara yang seni dan bukan seni, antara yang permainan dan keseriusan? Sesuatu yang baur dan asing seakan tak bisa kita kendalikan permainannya tapi kita juga yang serta-merta memperkuatnya dengan ikut bermain.

Mengafirmasi ‘keterasingan’ jadi salah satu jalan keluar. Praktik alienasi sebagai prasyarat kemungkinan reka-reka baru keterhubungan, menjaga yang kontradiktif sebagai operasi kuasa (seni) yang produktif, mencipta tawaran realitas-realitas baru yang cukup mendesak sekaligus permainan yang menyenangkan tapi sangat serius. Bagaimana menggunakan alienasi untuk mereka-cipta keterhubungan di keseharian kita selepas peristiwa pameran-pameran? 


Ugeng sebagai non-Ugeng