seorang yang duduk tak jauh dariku

berjam-jam bahkan mungkin berhari-hari sudah ia duduk tak jauh dariku. Tak bersama namun juga bukan orang asing. aku mengenalnya. Tak semata mengetahui nama dalam sekali jabat, atau seasing tahu ia siapa dari membaca kartu identitas pegawai atau supir taksi.
ia angin yang dingin. diamnya membuat gigil, sementara kata dalam cerita-ceritanya runcing. sudah berjam-jam mungkin berhari-hari. cahaya di jendela tempatnya duduk tak jauh dariku sudah berubah terang dan redup seperti cerah dan mendung berulang barangkali juga beberapa siang atau malam dan sepertinya pernah hujan. Ia tak pernah menanyakan namaku, walau ia mengenalku entah sejak kapan. Aku memperhatikan rautnya yang tak mirip satupun mahluk yang kukenal. aku berusaha mendengarkannya. tidak sulit awalnya.

Ia bercerita tentang punggung-punggung yang menjauh, ia bercerita tentang perempuan, lalu tentang perempuan berikutnya, bercerita tentang kamar, tentang jalan-jalan rusak , seorang ibu dibawah lampu jalan yang penuh laron, lalu tentang perempuan lain lagi yang baru lalu.

Tak sulit mendengarkannya, bahkan kutawarkan pula beberapa cerita tentang laki-laki, tentang kamu dan punggungmu. tentang sigaret di atap. tentang jendela pada pukul lima, entah barangkali ada harap yang jauh usai ku menukar ceritaku dengan ceritanya kami bisa tersenyum ketika meninggalkan jam-jam atau hari-hari itu.

ia tak pernah pergi sejak itu. aku sudah tersesat dalam hitungan kapan dan berapa lama, arlojiku lenyap dan yang tinggal hanya bekas lingkarnya di kulit yang pucat warnanya di lenganku.

Aku merasa demam dan ingin sendirian, namun ia menjajah hingga ke dalam mimpi-mimpiku tiap aku lari ke dalam tidur bahkan ketika kupalingkan muka berpura-pura lelap, ia di sana berhembus dalam seluruh sadarku seperti angin dingin.

Tahukah kamu apa yang orang bilang ketika kita lupa cara untuk berhenti dari sesuatu? "pergi, pergilah, pergi" doanya dalam suatu pura-pura tidurku

Tetapi justru ia yang tak mau pergi kataku dalam hati. Aku yang menahannya di sini katanya. Tetapi aku tidak mendengarnya. aku mengigau dalam demam dan ia tetap duduk tak jauh dariku. mengirimkan debar dan kata-kata itu sekali lagi ke dalam mimpi dan peluh dingin di kening. "pergi" aku mendengarnya samar seperti kata "pagi" yang duduk tak jauh dariku. embun-embun kemudian bermunculan di kepalaku. aku yang mereka-reka, lucid selagi ia masih duduk tak jauh dari ku. Sekali lagi alasannya bertimbun dalam lapis-lapis yang harus kubongkar satu persatu.

ia membangunkanku, tak peduli pada demamku, bercerita lagi, menghapus pagi di mimpiku. keningku terasa membara. kukatakan padanya aku memahaminya.
sesaat setelahnya kuihat punggungnya sendiri pergi meninggalkan kami. ia masih duduk tak jauh dariku.