Shades of Scarlet Conquering*

ada dinding di apungan bincang, tebal transparan dan kian menebal, kokoh walau nampak tiada, dinding yang membuat bicara yang sarat itu seperti senyap, tak ada lafal yang mengendarai udara.
getar dinding yang membawa dialog ganjil kita ke tahun yang masih belum datang, sementara di waktu yang jauh itu aku akan menemukanmu tinggal di masa lalu
mendengarkan bukan lagi bincang melainkan sejenis amarah atau sejenis haru yang mengalir panjang di perairan detik.

waktu masih nyata beterjangan tergesa namun bincang yang keseratus sekian kita malah bergugur mundur melampaui bincang kita yang pertama kali. Melampaui waktu sebelum sijingkat pertama kali debar-debar asing kita, melewati nol menuju keganjilan yang minus, seperti kaset yang habis diputar balik hingga kembali ke awal yang kosong. Putaran balik itu persisten, terus mundur walau ujung awal itu sudah terlewat habis.

tiada kita sudah lewat. yang ada kemudian sebuah entah yang lebih mirip dinding tebal daripada sebuah jarak. Dinding yang bernafas dari paru-paruku, melahap hampir semua kata-kataku. Padahal kita telah sampai saling mengerti tanpa harus berkata di suatu waktu, namun segalanya berjalan mundur dengan cepat dan masif.
Di antara hembus nafas yang makin menebalkan dinding-dinding ini, berurai panjang kata-kataku menjangkaumu, namun tak satupun yang sampai padamu dalam maksudku.
Sapaanku terdengar olehmu seperti cemooh selamat tinggal setelah melewati dinding itu, Kenyamananmu dalam diam tanpa kata denganku terbaca seperti keengganan untuk menyia-nyiakan kata lagi untukku, sementara aku terlalu ingin memelukmu karib dengan lega tetapi ingin itu kau baca sebagai punggungku yang tergesa hendak pergi dari bincang itu.

sekali aku ingin bicara tentang temali jemuran yang terputus ketika dirimu berlalu namun kamu bertanya mengapa kamu tidak mempercayaiku untuk memahami mu?
lalu berkepanjanganlah bincang ganjil yang saling mengembang imbang dalam spektrum paradoks yang perih. Patah dari rentang maksudku ke selisih pemahamanmu, dan vice versa
aku kehilangan semua cara untuk bicara atau membaca, segalanya mundur dan aku mengingat bahasa dalam ingatan yang katatonik. patahan suku kata yang hambur itu jadi komposisi nonsense. kuhirup dalam absen benak yang lumpuh oleh mampat maksud-maksud yang beterbangan namun semuanya kembali padaku lagi membuntu.

maksud itu adalah aku yang kukirim ke alamat waktumu yang kelak.
dinding itu barangkali juga aku yang mengganjal pintumu ketika kaubuka aku yang lalu. dinding itu perselisihan kita pada diri masing-masing,
aku tengah bicara, namun aku yang kau ajak bicara barangkali bukan aku yang kini.
debarku dan kalimatmu sepertinya mengapung pelan dalam sungai waktu mereka masing-masing menuju diri kita yang tepat untuk tiap kata. Melelahkan memang. kamu terengah, aku telah tumbang di kemunduran yang jauh dari jarakmu terjatuh lelah. barangkali aku akan menangis, barangkali aku hanya akan menulis lebih lagi. dinding itu akan membeku jika saja kita menuliskannya, lalu barangkali kita bisa memutarinya, walau aku tahu kamu tak mendengar maksudku, aku akan tetap mengatakannya.

maafkan dirimu. kita dan dinding itu pasti mereda.
aku mendengarku mengatakannya bukan padamu tapi padaku yang berada di balik pengap transparan memelar dari nafas-nafas itu.
tetapi tentu saja kamu tak mendengarnya.


5/10/07 edit

*Sementara meminjam salah satu judul lagu Joni Mitchell di album "The Hissing of Summer Lawn"

Comments

Ready Susanto said…
Suka cara bertuturmu, Cecil ..
Rozi Kembara said…
ikut baca :)