sigaret dan hujan

sigaret dan hujan pernah sekali waktu begitu manis. Tak ada bincang. Hanya gemeretik asap yang bara dan padam satu-satu. liuk asapnya yang ruah megah tetapi rapuh, seperti kita. sekali waktu.
Barisan hujan belum juga datang tahun ini walau aku telah membakar berpuluh cigaret dibawahnya. mencari lagi manisnya yang tak pernah beranjak pergi tapi tak bisa lagi kutemui.
aku sekonyong mengerti, kata sedih seperti engkau pernah mengucapnya. walau kala itu kita tak bicara dalam bahasa yang identik. ia adalah dirimu yang melihat dirimu yang lain memaksamu pergi ke dalam tutup pintu dan ia adalah aku yang terlalu tak punya apapun untuk takut kehilangan apapun, memaksamu dalam diam untuk tetap bersamaku. Ia adalah ruang-ruang jarak yang dibangun sengaja atau tak sengaja untuk menahan hajaran waktu. mengejar imbang sepi yang kopong dalam hati dengan mengosongkan biliknya yang setengah atau pernah terisi. sedih itu ketika kau membiarkanku menunggu, selagi dirimu berkemas, padamkan bara dan berlalu. sedihmu di punggungku. sedihku menunggu. sigaret-sigaret itu tidak lagi gemeretik jika dibiarkan terbakar tanpa dihisap, tinggal denyar asap-asap putih. demikian sedih itu tak berjejak jika tak dibiarkan terhirup nafas kita. semata indah yang meliuk-liuk di ruang-ruang tunggumu.