cum stella Lucidae
Dari tetes leleh di tepian matanya terpantul sebuah wajah. raut yang serupa belah jiwaku di hadap yang seperti genggaman utuh satu tubuh. Ia yang tepat di hadap wajahku. Lalu satu ia lain yang tengah mendegubkan debarku beratus kilometer dariku dan genggamku atasnya di ruang ini. Satu ia yang berlalu di ketersilaman kamar-kamar pertama yang dibuka dalam diriku. Satu ia yang panjang rambutnya berlalu seperti keterjagaan yang baru saja kehilangan mimpinya. bergetar lenyap di udara pagi. Dan satu ia lagi yang belum lagi kulewati jalannya atau kutemui hadirnya, ia yang belum kutemu, namun seperti halnya aku, ia mengejar satu dirinya terangkai dengan keempat yang lain. Barangkali di genap hadapku, barangkali genap di genggamku. Mengejar keniscayaan imbang yang kehausan selama berabad atau menunggu keterpulasan segala menuntaskan lenyap.
Ia dan aku suatu waktu telah leburkan diri ke segenapnya dan ke segalaku ketika kami sama saling mengingini. Namun dalam sebuah lengkung langit yang ingkar ia terpecah seperti beling beling tajam yang tak bisa satu. Lalu kami terhambur ke dalam penerbangan dedebuan waktu, tergelincir dari gumpalan bangun-bangun event di waktu yang linier. terpayah dan terengah mengejar kembali satu yang terserak.
Di waktu dan ruang ini kutemukan serpihannya yang ke lima dalam genggamku. Genggam dekap yang erat sekeji rindu yang meremas pecahannya hingga berdarah dan dalam ringis sakit itu mataku meneteskan bulat cermin yang memantulkan wajah-wajahnya yang terbelah. pantul yang basah dan hangat dalam distorsi yang sarat akan ingat.
Dalam basah hangatnya akupun mengerti berulang-ulang akan tempatku berasal. Dari suatu bulat cermin tetesan air mata pula semuanya. Kuingat plasenta lahirku sebuah lensa berselaput iris yang tua. jiwa yang tua. jiwa serupa yang selalu menarikku untuk pulang, merindukan awal tempat aku selalu diluncurkan, dijatuhkan, dilepaskan bukan untuk pulang melainkan untuk meninggalkan, untuk memantulkan, menjejakkan, kemudian uap menghilang dalam partikel yang senyap. tak musnah namun hanya terlalu senyap untuk berada. Aku bukan dilahirkan dalam siklus yang berputar, namun jalanan satu arah tanpa putaran berbalik atau tidak pula dengan leher yang cukup lentur untuk menoleh ke belakang.
Aku di suatu waktu adalah setetes raksa yang membara sebelum baraku sendiri menuntasku tanpa jejak ke dalam uap.
Uap yang katung dalam sebuah niscaya yang hasratnya kabur, entahkah hendak naik tinggi pergi atau kelelahan dan terjatuh mengembun.
Aku setetes air mata yang terjatuh dari bara seekor naga. Seribu sembilanratus tujuh puluh delapan usiaku ketika lahirku ringkuk di sisik tapaknya yang menggeliat dalam raung bukan karena luka, namun karena duka. Duka yang seperti kulitnya yang padat sekelu logam namun bernafas, hangat seperti hidup yang telah berabad-abad seakan tak berujung. Hanya sesaat sebelum padamnya aku terjaga menemu nyawanya berkibas dari sisik yang meremang melepaskan segala hangat ke dalam dingin yang menjurang dalam.
Ia dan aku suatu waktu telah leburkan diri ke segenapnya dan ke segalaku ketika kami sama saling mengingini. Namun dalam sebuah lengkung langit yang ingkar ia terpecah seperti beling beling tajam yang tak bisa satu. Lalu kami terhambur ke dalam penerbangan dedebuan waktu, tergelincir dari gumpalan bangun-bangun event di waktu yang linier. terpayah dan terengah mengejar kembali satu yang terserak.
Di waktu dan ruang ini kutemukan serpihannya yang ke lima dalam genggamku. Genggam dekap yang erat sekeji rindu yang meremas pecahannya hingga berdarah dan dalam ringis sakit itu mataku meneteskan bulat cermin yang memantulkan wajah-wajahnya yang terbelah. pantul yang basah dan hangat dalam distorsi yang sarat akan ingat.
Dalam basah hangatnya akupun mengerti berulang-ulang akan tempatku berasal. Dari suatu bulat cermin tetesan air mata pula semuanya. Kuingat plasenta lahirku sebuah lensa berselaput iris yang tua. jiwa yang tua. jiwa serupa yang selalu menarikku untuk pulang, merindukan awal tempat aku selalu diluncurkan, dijatuhkan, dilepaskan bukan untuk pulang melainkan untuk meninggalkan, untuk memantulkan, menjejakkan, kemudian uap menghilang dalam partikel yang senyap. tak musnah namun hanya terlalu senyap untuk berada. Aku bukan dilahirkan dalam siklus yang berputar, namun jalanan satu arah tanpa putaran berbalik atau tidak pula dengan leher yang cukup lentur untuk menoleh ke belakang.
Aku di suatu waktu adalah setetes raksa yang membara sebelum baraku sendiri menuntasku tanpa jejak ke dalam uap.
Uap yang katung dalam sebuah niscaya yang hasratnya kabur, entahkah hendak naik tinggi pergi atau kelelahan dan terjatuh mengembun.
Aku setetes air mata yang terjatuh dari bara seekor naga. Seribu sembilanratus tujuh puluh delapan usiaku ketika lahirku ringkuk di sisik tapaknya yang menggeliat dalam raung bukan karena luka, namun karena duka. Duka yang seperti kulitnya yang padat sekelu logam namun bernafas, hangat seperti hidup yang telah berabad-abad seakan tak berujung. Hanya sesaat sebelum padamnya aku terjaga menemu nyawanya berkibas dari sisik yang meremang melepaskan segala hangat ke dalam dingin yang menjurang dalam.