tentang isak bintang di atas sprei
Di senja labuhan dada layar redup merapat. dua lelah di satu perairan
aku ringkuk dibalut sarang bawah parade rembulan. Bertolak dari iringan dan perayaan bilangan ke sembilan belas siklus kali gelap terang.
Aku celotehkan keluh, getir juga serpihan tawa dalam baringan pejam. Memandangi langit di balik kelopak mata yang sepi tanpa sepenggal awan.
Satu bintang di langit itu sudah sehari semalam berjalan. sekonyong labuh dalam isak yang menyentak apungan benak malam.
terhenti burai celoteh bibirku, bersilih riuh gumam di dadaku. Ada bintang yang menangis di kasurku. dipalingkannya wajah hendak sembunyi dari terjagaku. Bintang kokoh yang berkelip tajam lalu tergolek sunyi. Sedu sesamar tirai debu di nyala lampu.
seluruhku lumpuh oleh detak gugat yang tak tahu menyambut lubang retak lelehan bintang. Hanya setetes jemariku mengapai usap punggungnya yang masih saja tersedu.
Bertahun berlalu sejak aku disapa bintang itu.
Bintang yang selalu bersinar tak hanya buatku namun untuk seuntai daftar panjang nama-nama manusia di langlang langitnya. Tak terhitung keluh kesah menggunung, permohonan dan permintaan kusisipkan sembari lalu di pundaknya ketika tengadahku, lalu Ia menggelisahkan setiapnya.
"Aku tengah ambang karam", tuturnya sekali waktu ketika konjungsi garis hidup kami bersilang temu.
Ia sebuah bintang yang seringkali kuabaikan luasnya, setia menampung gerutu dan keluh tak tahu terima kasih akan hadirnya seketika.
"kau membantuku menjadi manusia" katanya menggemetarkan hadirku malam itu di jelang lelap itu. Tetapi kemudian kutemukan tangisnya yang manusia, aku pun menggugat diriku atas angkuhku yang berpikir hendak mengajari bintang itu jadi manusia. padahal ia selalu sebuah bintang yang harus membakar habis dirinya ketika dijatuhkannya serintik isak itu di sisiku.
aku ringkuk dibalut sarang bawah parade rembulan. Bertolak dari iringan dan perayaan bilangan ke sembilan belas siklus kali gelap terang.
Aku celotehkan keluh, getir juga serpihan tawa dalam baringan pejam. Memandangi langit di balik kelopak mata yang sepi tanpa sepenggal awan.
Satu bintang di langit itu sudah sehari semalam berjalan. sekonyong labuh dalam isak yang menyentak apungan benak malam.
terhenti burai celoteh bibirku, bersilih riuh gumam di dadaku. Ada bintang yang menangis di kasurku. dipalingkannya wajah hendak sembunyi dari terjagaku. Bintang kokoh yang berkelip tajam lalu tergolek sunyi. Sedu sesamar tirai debu di nyala lampu.
seluruhku lumpuh oleh detak gugat yang tak tahu menyambut lubang retak lelehan bintang. Hanya setetes jemariku mengapai usap punggungnya yang masih saja tersedu.
Bertahun berlalu sejak aku disapa bintang itu.
Bintang yang selalu bersinar tak hanya buatku namun untuk seuntai daftar panjang nama-nama manusia di langlang langitnya. Tak terhitung keluh kesah menggunung, permohonan dan permintaan kusisipkan sembari lalu di pundaknya ketika tengadahku, lalu Ia menggelisahkan setiapnya.
"Aku tengah ambang karam", tuturnya sekali waktu ketika konjungsi garis hidup kami bersilang temu.
Ia sebuah bintang yang seringkali kuabaikan luasnya, setia menampung gerutu dan keluh tak tahu terima kasih akan hadirnya seketika.
"kau membantuku menjadi manusia" katanya menggemetarkan hadirku malam itu di jelang lelap itu. Tetapi kemudian kutemukan tangisnya yang manusia, aku pun menggugat diriku atas angkuhku yang berpikir hendak mengajari bintang itu jadi manusia. padahal ia selalu sebuah bintang yang harus membakar habis dirinya ketika dijatuhkannya serintik isak itu di sisiku.
Comments