percik Jalan raya, Air mancur dan sebuah Bundaran
aku hanya berdua bersama air yang beringsut turun ke anak setapak, ketika kerumun manusia memepat merenggang dalam siklus alir langkah dan bincang sesekali yang hambur muai di pesisir angin. Wajah-wajah karib melelehkan dada.
kesedihan adalah jarak letih yang bentang antara kebisuan dan celoteh mereka.
aku hanya berdua dengan dedebuan yang melaut compang diatas granit dan aspal. pantik kembara kenang di keteraturan cahaya.
Limbung menatah sadar sebuah gelaran, "in memoriam".
Payah menjaga tiada putus hadirnya. Berjaga dari dinding pengap jarak antara aku dan segala. Agar bisu senyap tengah keriuhan itu tidak mengunciku ke dalam bilik kedap Lalu Menjerat hempas-hempas benak dan setiap getar yang riak terserap oleh hadirku disitu.
aku dan kilau air saling sapa tanpa daya. menanggung jeram kelam dan hymne diam diam. keterdiaman itu hampir serupa duka, serupa amarah, serupa cinta. Keterdiaman yang sembunyi di tiap butir kendara debu atau jeritan klakson. bertinggal dedeburan yang merampas nyala, berdiam tinggal dalam dada seusai kerumun petang dan alir yang padam.
air mancur itu kemudian tewas oleh malam, demikian benak yang dinaikan percik lilin berhamburan. kukuh menahan hidup tak kenal kelam ataupun siang.
kesedihan adalah jarak letih yang bentang antara kebisuan dan celoteh mereka.
aku hanya berdua dengan dedebuan yang melaut compang diatas granit dan aspal. pantik kembara kenang di keteraturan cahaya.
Limbung menatah sadar sebuah gelaran, "in memoriam".
Payah menjaga tiada putus hadirnya. Berjaga dari dinding pengap jarak antara aku dan segala. Agar bisu senyap tengah keriuhan itu tidak mengunciku ke dalam bilik kedap Lalu Menjerat hempas-hempas benak dan setiap getar yang riak terserap oleh hadirku disitu.
aku dan kilau air saling sapa tanpa daya. menanggung jeram kelam dan hymne diam diam. keterdiaman itu hampir serupa duka, serupa amarah, serupa cinta. Keterdiaman yang sembunyi di tiap butir kendara debu atau jeritan klakson. bertinggal dedeburan yang merampas nyala, berdiam tinggal dalam dada seusai kerumun petang dan alir yang padam.
air mancur itu kemudian tewas oleh malam, demikian benak yang dinaikan percik lilin berhamburan. kukuh menahan hidup tak kenal kelam ataupun siang.
Comments
kapan nulis lagiiiiiiii