Aku tidak melihat namun aku merasakan perjalanan, pemandangan dan mengingat wajah demi wajah yang tak pernah kukenal. Setidaknya dalam kurun diriku di benang tipis hidup yang diatas nya kini aku bermain trapeze. Terhuyung dan tinggal sekejapan sebelum kalah aku terjatuh. Tiada arah. Tiada hadapku atau punggungku, atas atau bawahku hanya ‘ada’. Semata ada. berayun dalam tiada, dalam spektrum hampa yang menyibak jelajah angin dengan sempurna
Aku merasakan masif kehidupan yang berjalan bersama dalam satu kontinuum dekap. Jauh sebelum aku terbaring dalam penjara tubuhku yang baru, jauh sebelum waktu, aku hadir disini berpusar dalam arus yang dalam mati lahir, cipta atau lantaknya selaras di dalam intiku. Degubku yang kerdil seirama jadi maha-degub segala.
Waktu yang berputar lambat dan cepat, degub dan gaung yang beresonan, berulang kali dengung di tulang belulangku, udara yang dingin, hangat dan gerah bersilih hadir atau rimbun mekar bersamaan dalam kembang kempis paru-paruku.
Aku merasakan tempat dan peristiwa. Merasakan kulitku ketika aku dinding lembab, ketika aku alir deras di sungai yang terlonjak oleh ciprat jemari yang mengambilku untuk membasuh wajah wajah. Wajah itu lagi, hati yang karib dan pintu-pintu sadar yang membuka dan menutup dalam debam yang menggamang dalam dentumnya yang sesekali memukul samar meresidu tipis getar, sesekali memukul remuk namun membangun kan kembali ada sekokoh ada. Yang hanya hadir ada tanpa tanya atau memuai dalam mengapa.
Aku merasakan dirinya di aliran darahku. Tergesa meraup butirnya yang kuhambur dalam bersinku. Tertikam oleh senyumku yang melukiskan senyuman seorang asing di bibirku atau tangisnya yang leleh di mataku. Hidupku.., aku tak punya hidup yang sanggup kucerap pada detik berdetik masif bergaung kesadaran yang hingar dan luap berhamburan menerabas diriku. Namun aku mengenang ingatan yang tak pernah terjadi. Memandang dengan kulitku mendengar dengan nafasku, memahami badai keberadaan yang datang bukan seperti pemandangan selain bentang-bentang di kepala, terasa seperti hamparan luas. Ruang demi ruang yang tergesa berdiri berlomba dengan sangat mendirikan air kenyataan-kenyataan yang memuncrat tinggi mencakar langit lalu menghujan deras seperti khayalan, atau kelebat mimpi dari keentahan. Kehidupan yang bertumpuk baur dalam sehirupan sadar. segetaran yang hadir paralel berlapis-lapis namun menyatu. Waktu mengenang aku, sementara aku tidak sanggup mengingat apapun termasuk rentangan waktu. Tak perlu. Karena segala hadir menyerbu hingga ludak aku tak sanggup menanggungnya. Tubuhku geliat dalam hujan sesak kesadaran yang tak sanggup ditanggungnya. Kejang dan sesak nafasku tak mencemaskan aku namun mereka yang mendampingi aku disaat saat itu berperang untuk merebut tubuhku dari gilas kesadaran yang akan membunuh tubuhku, yang akan melepaskan jiwaku dari kesadaran organisku. Mereka berjuang merebut aku juga tubuhku berjuang membalut rantai rantai ikatan itu belit erat di leherku. Sementara ia hampir mati karena luap hadir semesta berpusar perlahan dahsyat mengambil alih nyawaku tuntas menjadi murni kesadaran yang tersuling ke pipa keabadian. Sadar tubuhku datang dan pergi akan tubuhku diatas denyut respiratori dan nafas yang tersesak tercekat karena tak sanggup menanggung debur yang sangat dalam rumah-rumah jiwaku,pun datang dan pergi. Juga genggam bergayut wajah-wajah karib yang letup ledak dalam gelisah cemas kehilangan yang kini kutahu, tak perlu. Aku tengah limpah, berceceran dengan alir yang tak henti membawakan hidup-hidup yang pernah dan belum dan yang akan, namun itu tak menjelaskan kehadiran mereka semua. Karena di dalam ombaknya yang gelegar masuk ke seluruhku tak ada seserpihpun pemahaman waktu. Segala ada hanya ada. tiada pernah, tiada tengah atau tiada belum pernah ada.
Semesta sempurna genap dalam absen atau hadir. Tak satupun alur hanya ada kini dan makna segalanya yang rasanya tak perlu lagi.
Aku dan berjuta pasir pesisir kesadaranku, aku anak anakku. Anak anak yang tak pernah kujumpai dalam hidup yang melabuhkan aku di satu pelukan maha yang kukecap sesekali dalam perjeda antara ke‘hidup’an atau ke‘mati’an seperti ini. Aku dan Kekasihku yang hanya satu, yang saling menikahi sadar dalam lepas perjalanan cinta dan seteru hingga aku ada berdiri disini dengan ia di sisiku dan aku di tempatnya berdiri.tak pernah lagi satu namun satu semata mata. Tiada yang bersilih hadir, hanya ada semua ada dan semua tiada seketika. Sebagaimana adanya.
Aku merasakan masif kehidupan yang berjalan bersama dalam satu kontinuum dekap. Jauh sebelum aku terbaring dalam penjara tubuhku yang baru, jauh sebelum waktu, aku hadir disini berpusar dalam arus yang dalam mati lahir, cipta atau lantaknya selaras di dalam intiku. Degubku yang kerdil seirama jadi maha-degub segala.
Waktu yang berputar lambat dan cepat, degub dan gaung yang beresonan, berulang kali dengung di tulang belulangku, udara yang dingin, hangat dan gerah bersilih hadir atau rimbun mekar bersamaan dalam kembang kempis paru-paruku.
Aku merasakan tempat dan peristiwa. Merasakan kulitku ketika aku dinding lembab, ketika aku alir deras di sungai yang terlonjak oleh ciprat jemari yang mengambilku untuk membasuh wajah wajah. Wajah itu lagi, hati yang karib dan pintu-pintu sadar yang membuka dan menutup dalam debam yang menggamang dalam dentumnya yang sesekali memukul samar meresidu tipis getar, sesekali memukul remuk namun membangun kan kembali ada sekokoh ada. Yang hanya hadir ada tanpa tanya atau memuai dalam mengapa.
Aku merasakan dirinya di aliran darahku. Tergesa meraup butirnya yang kuhambur dalam bersinku. Tertikam oleh senyumku yang melukiskan senyuman seorang asing di bibirku atau tangisnya yang leleh di mataku. Hidupku.., aku tak punya hidup yang sanggup kucerap pada detik berdetik masif bergaung kesadaran yang hingar dan luap berhamburan menerabas diriku. Namun aku mengenang ingatan yang tak pernah terjadi. Memandang dengan kulitku mendengar dengan nafasku, memahami badai keberadaan yang datang bukan seperti pemandangan selain bentang-bentang di kepala, terasa seperti hamparan luas. Ruang demi ruang yang tergesa berdiri berlomba dengan sangat mendirikan air kenyataan-kenyataan yang memuncrat tinggi mencakar langit lalu menghujan deras seperti khayalan, atau kelebat mimpi dari keentahan. Kehidupan yang bertumpuk baur dalam sehirupan sadar. segetaran yang hadir paralel berlapis-lapis namun menyatu. Waktu mengenang aku, sementara aku tidak sanggup mengingat apapun termasuk rentangan waktu. Tak perlu. Karena segala hadir menyerbu hingga ludak aku tak sanggup menanggungnya. Tubuhku geliat dalam hujan sesak kesadaran yang tak sanggup ditanggungnya. Kejang dan sesak nafasku tak mencemaskan aku namun mereka yang mendampingi aku disaat saat itu berperang untuk merebut tubuhku dari gilas kesadaran yang akan membunuh tubuhku, yang akan melepaskan jiwaku dari kesadaran organisku. Mereka berjuang merebut aku juga tubuhku berjuang membalut rantai rantai ikatan itu belit erat di leherku. Sementara ia hampir mati karena luap hadir semesta berpusar perlahan dahsyat mengambil alih nyawaku tuntas menjadi murni kesadaran yang tersuling ke pipa keabadian. Sadar tubuhku datang dan pergi akan tubuhku diatas denyut respiratori dan nafas yang tersesak tercekat karena tak sanggup menanggung debur yang sangat dalam rumah-rumah jiwaku,pun datang dan pergi. Juga genggam bergayut wajah-wajah karib yang letup ledak dalam gelisah cemas kehilangan yang kini kutahu, tak perlu. Aku tengah limpah, berceceran dengan alir yang tak henti membawakan hidup-hidup yang pernah dan belum dan yang akan, namun itu tak menjelaskan kehadiran mereka semua. Karena di dalam ombaknya yang gelegar masuk ke seluruhku tak ada seserpihpun pemahaman waktu. Segala ada hanya ada. tiada pernah, tiada tengah atau tiada belum pernah ada.
Semesta sempurna genap dalam absen atau hadir. Tak satupun alur hanya ada kini dan makna segalanya yang rasanya tak perlu lagi.
Aku dan berjuta pasir pesisir kesadaranku, aku anak anakku. Anak anak yang tak pernah kujumpai dalam hidup yang melabuhkan aku di satu pelukan maha yang kukecap sesekali dalam perjeda antara ke‘hidup’an atau ke‘mati’an seperti ini. Aku dan Kekasihku yang hanya satu, yang saling menikahi sadar dalam lepas perjalanan cinta dan seteru hingga aku ada berdiri disini dengan ia di sisiku dan aku di tempatnya berdiri.tak pernah lagi satu namun satu semata mata. Tiada yang bersilih hadir, hanya ada semua ada dan semua tiada seketika. Sebagaimana adanya.
Comments