drum dan tenor

coltrane..
aku mengaisi kamar menggapai gapai beragam benda yang ada di dalamnya. mencari cakram yang menyimpan musik yang tiba-tiba begitu lapar untuk kudengar. Bukan seperti pecandu yang tubuhnya tengah menagih candunya. Aku tidak mencandu, aku hanya mencarinya terburu untuk menghentikan gejolak yang menggedor dari tubuhku hendak keluar.

lush life. Harusnya hanya untai tuturan saksofon tenor dan drum. Tuturan liar dan brutal dengan hembusan nafas yang lembut yang nakal. hingarnya, liuknya membantuku teduh dalam katarsis. Namun Terlambat. aku tak menemukannya dan aku pun tersisih ke sisi dinding memandang diriku yang lain yang meringkuk dalam amarah yang telah menyingkirkan sadarku ke tepi tembok dingin ini.
Bukan sekali atau dua kali aku lepas dari tubuhku dan memandang diriku yang lain tengah didih atau ledak dalam dirinya. dan aku tak berdaya ketika pasang itu datang. Kupikir Coltrane bisa mencegahnya. aku kembali mencari. kuputar semua cakram musik yang bisa kutemukan.
Sementara ia, diriku yang lain memendar warna, menangis dalam dirinya meringkuk dan menolak aku yang mencari-cari jalan untuk kembali kepadanya.
Aku dilemparnya ke masa kecilku dimana aku melihatnya terjebak dalam artikulasi kata yang terbata dan ketika itu aku belum lah bisa bicara, namun ia selalu begitu menggelora. Lagi-lagi aku tak berdaya. Ia menggedor namun aku tak memiliki pintu yang cukup untuk dirinya terlepas keluar. Ia selalu menghempas hempas begitu kuat bertahun lamanya. hingga suatu ketika aku yang remuk menahannya. Bukan ia yang meronta keluar dari aku tetapi aku yang terpecah dan terlepas dari gemuruhnya yang dalam.

aku harus mencari matanya untuk kembali pulang ke dalam diriku.

musik sesekali bisa menenangkannya. walau itu bukan cara mengatasinya. tak ada cara yang aku sungguh tahu untuk meredamnya. Tetapi aku tahu musik sanggup menyelusup tingkap getaran dirinya bukan dengan hingar atau mendayu, namun dengan sesuatu yang kompleks. Barangkali sekompleks dirinya, hingga ia retas dalam selarik selarik birama yang burai di ruang-ruang kita. dan meluruh reda perlahan, juga otot-ototnya regang kembali hingga aku bisa kembali ke dalamku.

tergesa kupindahkan jalur suara itu. chevendo na roseira. Getz menuang hujan di tengah belukar mawar, aku memandangnya, diriku yang lain yang seperti serigala buas di tengah hujan yang ketakutan karena petir dan guntur.
aku hanya bisa memutarkan volume keras-keras untuknya.
aku tak bisa temukan coltrane kita.
kekasihmu meminjamnya. Dan kini ia tak hanya pergi tetapi juga tak mengembalikan drum dan tenor liar yang begitu kau suka.
Aku tak bisa jauh dari dirimu dan mencari drum dan tenormu di tempat lain. lagipula bara yang berkilat dari tubuhmu itu sesungguhnya tak inginkan bebunyian drum dan instrumen kuningan bersuara tenor itu.

souls song. aku bisa mendengarmu dalam dadaku.
sebuah kehidupan katamu. Kehidupan yang tak kau inginkan kini memaksakan kehendaknya dengan mencipta mahluk yang menginginkan kehidupan nya sendiri.
Bertahun kau menghindar dari kehidupan yang begitu kau cintai. Kau berlari karena kau tak sanggup menanggung hadirnya dalam dirimu. tetapi ia terus mengejarmu. memaksakan deru para cikal bakal luka, rindu, haru, bahkan kehidupan yang baru.
Dalam satu korset sesak waktu dan perjalanan kita berdua bernafas setarik demi setarikan.
souls song. satu lagu untuk untai liukan berbelit kesadaran kita. kemanakah aku harus kembali jika ke dalam diriku sendiri pun aku telah ditolak. oleh getir bertahun dendam ingatan seketika baku pukul dengan nyawa dalam kantung ketuban kita.
kita kalah. Dan disinilah ada.

aku pulang ke dalamku. ia reda oleh seketika tetabuhan gerimis di jendela. Ia menerimaku kembali dalam lunglai kangennya akan komposisi drum dan tenor yang tak sanggup kutemukan diantara gundukan aksara di hatinya yang bertutur dalam kecewa.
Dalam lembab degub di dadaku yang kembali lebur di dalam dia, kemudian tertata ritmis serupa drum perkusi bersama hujan yang perlahan datang. Sementara lantun senandung jejak isaknya mengetar. selaras debar dengung saksofon tenor yang berlangsung berjam-jam hingga fajar.