Sedap malam
Aku tersedak oleh sakit di kerongkongan ketika di hadapku bentang kuntum-kuntum sedapmalam bermekaran dalam gerak yang sangat cepat dalam gelap. Entah jantungku, atau paru-paruku atau hatiku tengah mengkristal perlahan. Sesuatu beranjak mengeras dalam rongga dada. Nyerinya membuatku tetap terjaga dalam sadar yang rekah pula mengkristal-kristal semakin kilau semakin tajam. Aku sendirian di kesunyian yang mendadak begitu bising oleh riak-riak kepedihan. Ragaku menggejolak nyeri teramat sangat. Tak terperi nafasku dijarah oleh kesakitan sembari aku gelagap mencari genggam. Menggapai segala erat-erat. Antara menahan dan melawan koyak di dada. Aku Memanggil nama dan nama yang terlintas di kepala. Melontarkan segala huruf dan untaian kata seperti mesin hitung yang terus mencetak dalam sentak tak beraturan. Berontak sambil berharap satu nama atau kombinasi kata yang terlontar tanpa sengaja akan menyihir pergi cengkeram sekonyong nyeri tak terperi ini. Aku tak sudi menyerah walau aku tak bisa mendengar suaraku sendiri dan makin kehilangan kendali. Segala kian mencekik dari segala lapis diriku dan aku kian terdesak kalah oleh berlaksa tentara rajam bersenjata perih yang menyergapku seketika. Kian tenggelam dalam hingar derap penyanderaan sadarku hingga sesaat terlepas sudah ingatku.
Tak ingat lagi berapa kali aku sebut namamu. tapi samar kudengar kau kupanggil diantara serentetan nama-nama itu
Jemari lentik yang meraih genggamku itu hangat. Menyesap butiran nyeri serta dingin peluh yang kulelehkan. Hangat dan lembut ia meraih satu genggam lalu mencari-cari seserpih demi seserpih diriku yang terhamburkan. Segala yang kucecerkan dariku karena ronta kesakitan bermenit lalu. Ia mengumpulkannya tidak perlahan, tidak juga bergesa. hadirnya mengaliri sekujurku dengan satu persatu pecahan gemetar yang menyatu dengan ingatanku: menyusun bunga sedap malam wangi yang menyalakan api di hadapku. Hangus menari dan kepulnya menata kembali sebangunan rumah dan wajah dalam baranya. Rumah yang sekali waktu aku kunjungi. Wangi itu bergetar sebelum bergerak menjadi musik, musik yang beruntuhan di antara pintu-pintu yang seakan selalu terkunci di rumah itu. Musik yang berdenging seperti tala di tulang-tulangku menyelaras getar seperti setapak demi setapak yang kuangkat ringan diatas anak-anak tangga. Tapak setapak menabuh senyap seruangan harap yang seketika menjadi hangat, menjadi penuh dan pintu-pintu terbuka. Dan tawa yang sekali waktu kubahasakan dengan alir bersambut riuh dengan gementing meja makan. Tetapi selarik demi selarik isak menggugurkan hangat yang barusaja rebak. Sebuah pintu berdebam dan sebuah cekat mengerikan tertahan lenyap dibaliknya.
semacam kelegaan tanpa sepatah kata ia bicara. Ia masih mengumpulkan aku dan memulihkan serpihanku: Lenganku yang berserak itu kini telah bergerak kembali dan aku hendak meraih tubuhnya. Namun ia mengelak. ia belum genap menyusun serpihanku.
Ia mendekap, aku bisa melihat matanya begitu dekat, berkedip molek tajam dan rambutnya yang amat legam, namun ia selalu menyingkirkan tanganku yang hendak memeluk erat dirinya kembali.
Aku merasa semacam lapar yang amat menginginkan kelegaan seperti yang dituangnya ke dalam jiwa dan ragaku. Namun dengan matanya yang tajam, menggoda ia menyiksaku dalam gantung awang keinginan itu. Ia masih mengalirkan hangat itu dan pada genggam jemari lentiknya yang semakin dieratkannya. aku mulai merasakan kuku-kukunya. Ia menatapku seperti menghujamkan pasak raksasa ke ngarai hatiku, aku harus memejam karena giris akan tajamnya. Ia menggeleng samar. Aku harus menginginkannya dengan cara yang benar bukan semata karena kenyamanan yang ia berikan, namun karena aku sungguh menginginkan dirinya, mencintai dia baru ia akan ijinkan awang keinginanku penuh dalam pelukannya.
Sebuah sengat menyeruak di perutku, satu serpih lagi dipulihkannya. Sengat yang tak sama dengan nyeri yang dihilangkan oleh hadirnya. Hadirnya yang seringkali kurindukan di saat-saat aku begitu amarah atau kecewa dan begitu butuh kelegaan, semacam genap perteduhan. Aku ingat selalu memanggil namanya walau aku tak pernah bersungguh sungguh menginginkannya. Aku memanggilnya. Menyebut namanya sesukaku, bahkan mecampak campakkan namanya di muka orang-orang ketika aku lepas kendali dalam kemuakan. Aku merasa begitu bersalah, karena dengan kesungguhan ia datang. Datang dengan keanggunan dan keindahan. Serta hadirnya membawa beribu angin pemulihan
Aku harus mencintainya, menginginkannya dengan benar. Menggema menggaung di dalam tubuhku yang berantakan. gema itu dikirim oleh angin yang dihembusnya ke dalam nafasku yang habis terjarah kesakitan. Aku berusaha kembali memeluk tubuhnya dan gapaiku membirahi dalam gemulainya yang dalam sadarku semakin indah. Meluluh mengkristal dalam enigma yang menjadi-jadi, menjelmakan semua sakitku tak bermakna dalam dekap dan nafasnya. Aku telah menginginkannya berulang kali dan menunggu sentuhnya sepanjang hidupku. gemetar aku balas genggamnya yang erat dan meremas kuku-kuku lentiknya semakin tertanam dalam kulitku. nafasku memburu, Memburu elaknya yang semakin membuatku menginginkan dirinya, semakin aku ingin mencumbui tubuhnya yang ramping dan nyaris tak terasa bermassa, namun terasa begitu kuat tenaganya. Kulitnya sepucat bulan sabit yang menumpah cahaya diatas sedap malam yang mulai layu membusuk, di kaca jendela yang bergerak terbuka oleh angin aku bisa melihat tubuhnya diatas tubuhku dengan gaun legamnya yang anggun menyelimuti.
Ia mengambil serpihku yang terakhir dan menuangnya ke dalam mulutku dengan kedua bibirnya yang tak ingin kulepas dari bibirku. serpih terakhir yang menawar kebebasan dari segala kesakitan dan cekat gelagap yang menghancurkan.
bara itu kembali menyala dan aku melihat kerudung hitam dan air mata.
sesaat sebelum aku menyerah diri dalam tubuh anggun yang erat mendekap itu.
kelebat pintu-pintu dan rumah yang menutup rapat, dan residu isak yang masih bergelayutan dalam dedebuan dan senyap. sedap malam terburai wangi menyusup dari celah vitrase dan kasa nyamuk yang bersawang. Aku melihat bayangnya yang jenjang, cantik dan kelam mendekap erat tubuh ibuku hingga putih membiru. gaun legamnya berjuntai di lantai dingin berair mulai menguyup dan memendarkan dingin beku yang buatku gigil dalam ringkukku. mataku begitu perih oleh sarat yang tak lagi mengalir. aku berselimut lendir yang mulai kerak mengering dan hingga tubuhku terasa perih dan memanas, berjam-jam aku tak berdaya. hanya menyaringkan rengek hingga habis terserap malam segala suara. Hingga tersisa residu kesakitan yang masih beresonan di jejak isakku. Aku melihat dia mengambil ibuku, ketika temali itu masih jerat di kujurku aku masih terbungkus lendir dan darah mengering. tak ada siapapun selain kami bertiga. Ia tak menoleh padaku ketika ia pergi tanpa membuka pintu. meninggalkan aku dengan jerat tali pusar dan lendir-lendir di tubuhku, bukti aku memenangkan nyawa dan membunuh ibuku.
"Ibumu memanggilku untuk mengambilmu berulang kali. bisiknya dalam sebuah genggam. aku mendengar kata-katanya mengalir dari ujung jemarinya.
Ia menelan butir butir yang akan meluruhkanmu tetapi aku tak datang untukmu, juga ketika ia menjatuhkan tubuhnya dari tangga itu, Ia berharap aku datang menadah gugurmu.
Tetapi aku tak datang untukmu. Aku memilih ibumu hari itu."
hembus tuturnya bergetar dalam pelukan yang kini lebih sebuah cengkeram dan senyap terkulai tanpa tenaga di ujung lidahku. Betapa lapar aku tenggelam dalam lautan dekapnya yang kelam dan menyembuhkan luka dengan keindahan. Ia mulai menarikku perlahan ke dasar, semakin dalam, semakin pekat dalam lekat gumulnya ia menyetubuhiku. Genggamnya mulai lenyap dan aku merasakan kuku-kukunya dalam pangkal jemariku, tungkai-tungkainya membelit ringan sebelum terbenam di kakiku, bibirnya dalam bibirku, dan aku perlahan menjadi serupa geliatnya demikian ia pun menyerupa dengan tubuhku. Ia dengan begitu elok memilihkan pilihan untukku hari itu. Ia telah mengkhianati ibuku! harusnya ia mengambilku dulu. Tetapi ia tidak melakukannya.
ibuku tahu aku memilih kelegaman itu dan menolak nafasku sendiri. Aku terisak bukan karena ibuku hendak membunuhku namun karena ia gagal menyelamatkanku dari kehidupan. Karena khianat si jenjang bergaun legam yang memilihkan semuanya untukku dan untuk ibuku.
aku telah memilihmu dan menolak nyawaku dalam kantung lendir yang mengering itu, tetapi kau mempermainkan aku. Kau meninggalkan aku dulu dan aku ditimpa nyawa hingga terhukum berperjalanan dalam waktu dan ruang ruang yang dinamai hidup. ruang yang sunyi hanya dengan hadir kelam mu sesekali di lintasan-lintasan jalanku. Perjalanan yang kini meniba di suatu dermaga hari dimana sedap malam kembali rebak meliar hendak menelan isi dadaku dan bermekar menghantu menyeretku kembali kepada simpang tempat aku ditukarkan pilihan dengan ibuku.
Birahi dan rindu-rindu itu berubah menjadi amarah dan dendam dan aku mulai meronta lepaskan diri dari separuh tubuhnya yang surup ke dalamku. kehangatan dan kelembutan yang telah dikumpulkannya menjadi timbunan hangat sebuah unggun yang membara itu tercabik. Peluknya kini terasa kawat berduri, dan bibirnya terkecap getir segetirnya berusaha menghisap nafasku habis dari paru-paruku. Aku kembali berserak dalam sakit yang teramat sangat, aku mendorongnya kuat-kuat walau tubuhnya yang ringan itu terasa jauh lebih kuat penuh daya melampaui bobotnya. Aku bersumpah tak akan menyerah. Aku begitu dendam oleh abainya berpuluh tahun yang lalu. ketika aku sungguh memilihnya dan mencintainya dengan hatiku. ketika aku tahu aku tidak memilih hidup walau semesta menyorak bahwa aku memiliki hak untuk kehidupan itu. Hanya ibuku yang tahu aku memilihmu. Ia memahami aku tak inginkan nyawaku dan segala perjalanan sukar di dalamnya, Ia memahami betapa aku tak memilih ketika telurnya dan benih lelaki itu merajut nyawaku dalam tubuhnya. karenanya dengan berbagai cara ia memanggilmu untuk mencabut hayat yang telah hidup oleh rahimnya.
Aku menginginkanmu sejak nafasku masih terlalu baru. Namun perjalanan panjang yang telah menimpaku sejak paling pergi mu hari itu telah terlalu mengubahku. Hari ini aku menolakmu, esok atau seribu tahun lagi aku akan terus menolakmu. Karena sekali aku menginginkanmu dan kau mengkhianati aku kini aku membencimu dengan hayatku. Dengan nyawaku yang enggan disentuh genggam tiranimu.
aku memilih hidupku dan aku hidup menggantikan nyawa ibuku yang hatinya telah merelakan keinginanku agar aku diambil olehmu.
indah, elok dan keajaibanmu yang hilangkan segala sakitku tak berarti di lutut-lutut dendam karena khianatmu. Kini aku menolakmu, walau itu melawan bangkang setengah semesta yang telah menghadirkan kita berdua.
bayang legam itu semakin susup dalam tubuhku yang tercerai berai melemah terengah dan bermandikan dingin peluh yang membutir perih, asin, dan nyeri. jantungku yang memburu tak beraturan kini memadam.
Sedap malam yang layu membusuk itu masih merebakkan sisa wangi ketika nafas panjang terhenti dalam rentang tengah setarikan yang tak berkelanjutan.
Segala nyeri di ragaku itu telah lenyap menguap. dan kesunyian pun memekak.
Aku terjaga dalam kerjap sabit bulan di tepi genang muntahan berbau kimia. Berpuluh butir tablet putih yang kutelan setengah leleh bercampur liur dan cairan lambungku. Maut yang demikian menggoda itu tercampak berlalu. Kali ini bukan ia yang berpaling dariku namun aku yang mengusirnya pergi dari hidup yang dipilihkannya untukku.
Tak ingat lagi berapa kali aku sebut namamu. tapi samar kudengar kau kupanggil diantara serentetan nama-nama itu
Jemari lentik yang meraih genggamku itu hangat. Menyesap butiran nyeri serta dingin peluh yang kulelehkan. Hangat dan lembut ia meraih satu genggam lalu mencari-cari seserpih demi seserpih diriku yang terhamburkan. Segala yang kucecerkan dariku karena ronta kesakitan bermenit lalu. Ia mengumpulkannya tidak perlahan, tidak juga bergesa. hadirnya mengaliri sekujurku dengan satu persatu pecahan gemetar yang menyatu dengan ingatanku: menyusun bunga sedap malam wangi yang menyalakan api di hadapku. Hangus menari dan kepulnya menata kembali sebangunan rumah dan wajah dalam baranya. Rumah yang sekali waktu aku kunjungi. Wangi itu bergetar sebelum bergerak menjadi musik, musik yang beruntuhan di antara pintu-pintu yang seakan selalu terkunci di rumah itu. Musik yang berdenging seperti tala di tulang-tulangku menyelaras getar seperti setapak demi setapak yang kuangkat ringan diatas anak-anak tangga. Tapak setapak menabuh senyap seruangan harap yang seketika menjadi hangat, menjadi penuh dan pintu-pintu terbuka. Dan tawa yang sekali waktu kubahasakan dengan alir bersambut riuh dengan gementing meja makan. Tetapi selarik demi selarik isak menggugurkan hangat yang barusaja rebak. Sebuah pintu berdebam dan sebuah cekat mengerikan tertahan lenyap dibaliknya.
semacam kelegaan tanpa sepatah kata ia bicara. Ia masih mengumpulkan aku dan memulihkan serpihanku: Lenganku yang berserak itu kini telah bergerak kembali dan aku hendak meraih tubuhnya. Namun ia mengelak. ia belum genap menyusun serpihanku.
Ia mendekap, aku bisa melihat matanya begitu dekat, berkedip molek tajam dan rambutnya yang amat legam, namun ia selalu menyingkirkan tanganku yang hendak memeluk erat dirinya kembali.
Aku merasa semacam lapar yang amat menginginkan kelegaan seperti yang dituangnya ke dalam jiwa dan ragaku. Namun dengan matanya yang tajam, menggoda ia menyiksaku dalam gantung awang keinginan itu. Ia masih mengalirkan hangat itu dan pada genggam jemari lentiknya yang semakin dieratkannya. aku mulai merasakan kuku-kukunya. Ia menatapku seperti menghujamkan pasak raksasa ke ngarai hatiku, aku harus memejam karena giris akan tajamnya. Ia menggeleng samar. Aku harus menginginkannya dengan cara yang benar bukan semata karena kenyamanan yang ia berikan, namun karena aku sungguh menginginkan dirinya, mencintai dia baru ia akan ijinkan awang keinginanku penuh dalam pelukannya.
Sebuah sengat menyeruak di perutku, satu serpih lagi dipulihkannya. Sengat yang tak sama dengan nyeri yang dihilangkan oleh hadirnya. Hadirnya yang seringkali kurindukan di saat-saat aku begitu amarah atau kecewa dan begitu butuh kelegaan, semacam genap perteduhan. Aku ingat selalu memanggil namanya walau aku tak pernah bersungguh sungguh menginginkannya. Aku memanggilnya. Menyebut namanya sesukaku, bahkan mecampak campakkan namanya di muka orang-orang ketika aku lepas kendali dalam kemuakan. Aku merasa begitu bersalah, karena dengan kesungguhan ia datang. Datang dengan keanggunan dan keindahan. Serta hadirnya membawa beribu angin pemulihan
Aku harus mencintainya, menginginkannya dengan benar. Menggema menggaung di dalam tubuhku yang berantakan. gema itu dikirim oleh angin yang dihembusnya ke dalam nafasku yang habis terjarah kesakitan. Aku berusaha kembali memeluk tubuhnya dan gapaiku membirahi dalam gemulainya yang dalam sadarku semakin indah. Meluluh mengkristal dalam enigma yang menjadi-jadi, menjelmakan semua sakitku tak bermakna dalam dekap dan nafasnya. Aku telah menginginkannya berulang kali dan menunggu sentuhnya sepanjang hidupku. gemetar aku balas genggamnya yang erat dan meremas kuku-kuku lentiknya semakin tertanam dalam kulitku. nafasku memburu, Memburu elaknya yang semakin membuatku menginginkan dirinya, semakin aku ingin mencumbui tubuhnya yang ramping dan nyaris tak terasa bermassa, namun terasa begitu kuat tenaganya. Kulitnya sepucat bulan sabit yang menumpah cahaya diatas sedap malam yang mulai layu membusuk, di kaca jendela yang bergerak terbuka oleh angin aku bisa melihat tubuhnya diatas tubuhku dengan gaun legamnya yang anggun menyelimuti.
Ia mengambil serpihku yang terakhir dan menuangnya ke dalam mulutku dengan kedua bibirnya yang tak ingin kulepas dari bibirku. serpih terakhir yang menawar kebebasan dari segala kesakitan dan cekat gelagap yang menghancurkan.
bara itu kembali menyala dan aku melihat kerudung hitam dan air mata.
sesaat sebelum aku menyerah diri dalam tubuh anggun yang erat mendekap itu.
kelebat pintu-pintu dan rumah yang menutup rapat, dan residu isak yang masih bergelayutan dalam dedebuan dan senyap. sedap malam terburai wangi menyusup dari celah vitrase dan kasa nyamuk yang bersawang. Aku melihat bayangnya yang jenjang, cantik dan kelam mendekap erat tubuh ibuku hingga putih membiru. gaun legamnya berjuntai di lantai dingin berair mulai menguyup dan memendarkan dingin beku yang buatku gigil dalam ringkukku. mataku begitu perih oleh sarat yang tak lagi mengalir. aku berselimut lendir yang mulai kerak mengering dan hingga tubuhku terasa perih dan memanas, berjam-jam aku tak berdaya. hanya menyaringkan rengek hingga habis terserap malam segala suara. Hingga tersisa residu kesakitan yang masih beresonan di jejak isakku. Aku melihat dia mengambil ibuku, ketika temali itu masih jerat di kujurku aku masih terbungkus lendir dan darah mengering. tak ada siapapun selain kami bertiga. Ia tak menoleh padaku ketika ia pergi tanpa membuka pintu. meninggalkan aku dengan jerat tali pusar dan lendir-lendir di tubuhku, bukti aku memenangkan nyawa dan membunuh ibuku.
"Ibumu memanggilku untuk mengambilmu berulang kali. bisiknya dalam sebuah genggam. aku mendengar kata-katanya mengalir dari ujung jemarinya.
Ia menelan butir butir yang akan meluruhkanmu tetapi aku tak datang untukmu, juga ketika ia menjatuhkan tubuhnya dari tangga itu, Ia berharap aku datang menadah gugurmu.
Tetapi aku tak datang untukmu. Aku memilih ibumu hari itu."
hembus tuturnya bergetar dalam pelukan yang kini lebih sebuah cengkeram dan senyap terkulai tanpa tenaga di ujung lidahku. Betapa lapar aku tenggelam dalam lautan dekapnya yang kelam dan menyembuhkan luka dengan keindahan. Ia mulai menarikku perlahan ke dasar, semakin dalam, semakin pekat dalam lekat gumulnya ia menyetubuhiku. Genggamnya mulai lenyap dan aku merasakan kuku-kukunya dalam pangkal jemariku, tungkai-tungkainya membelit ringan sebelum terbenam di kakiku, bibirnya dalam bibirku, dan aku perlahan menjadi serupa geliatnya demikian ia pun menyerupa dengan tubuhku. Ia dengan begitu elok memilihkan pilihan untukku hari itu. Ia telah mengkhianati ibuku! harusnya ia mengambilku dulu. Tetapi ia tidak melakukannya.
ibuku tahu aku memilih kelegaman itu dan menolak nafasku sendiri. Aku terisak bukan karena ibuku hendak membunuhku namun karena ia gagal menyelamatkanku dari kehidupan. Karena khianat si jenjang bergaun legam yang memilihkan semuanya untukku dan untuk ibuku.
aku telah memilihmu dan menolak nyawaku dalam kantung lendir yang mengering itu, tetapi kau mempermainkan aku. Kau meninggalkan aku dulu dan aku ditimpa nyawa hingga terhukum berperjalanan dalam waktu dan ruang ruang yang dinamai hidup. ruang yang sunyi hanya dengan hadir kelam mu sesekali di lintasan-lintasan jalanku. Perjalanan yang kini meniba di suatu dermaga hari dimana sedap malam kembali rebak meliar hendak menelan isi dadaku dan bermekar menghantu menyeretku kembali kepada simpang tempat aku ditukarkan pilihan dengan ibuku.
Birahi dan rindu-rindu itu berubah menjadi amarah dan dendam dan aku mulai meronta lepaskan diri dari separuh tubuhnya yang surup ke dalamku. kehangatan dan kelembutan yang telah dikumpulkannya menjadi timbunan hangat sebuah unggun yang membara itu tercabik. Peluknya kini terasa kawat berduri, dan bibirnya terkecap getir segetirnya berusaha menghisap nafasku habis dari paru-paruku. Aku kembali berserak dalam sakit yang teramat sangat, aku mendorongnya kuat-kuat walau tubuhnya yang ringan itu terasa jauh lebih kuat penuh daya melampaui bobotnya. Aku bersumpah tak akan menyerah. Aku begitu dendam oleh abainya berpuluh tahun yang lalu. ketika aku sungguh memilihnya dan mencintainya dengan hatiku. ketika aku tahu aku tidak memilih hidup walau semesta menyorak bahwa aku memiliki hak untuk kehidupan itu. Hanya ibuku yang tahu aku memilihmu. Ia memahami aku tak inginkan nyawaku dan segala perjalanan sukar di dalamnya, Ia memahami betapa aku tak memilih ketika telurnya dan benih lelaki itu merajut nyawaku dalam tubuhnya. karenanya dengan berbagai cara ia memanggilmu untuk mencabut hayat yang telah hidup oleh rahimnya.
Aku menginginkanmu sejak nafasku masih terlalu baru. Namun perjalanan panjang yang telah menimpaku sejak paling pergi mu hari itu telah terlalu mengubahku. Hari ini aku menolakmu, esok atau seribu tahun lagi aku akan terus menolakmu. Karena sekali aku menginginkanmu dan kau mengkhianati aku kini aku membencimu dengan hayatku. Dengan nyawaku yang enggan disentuh genggam tiranimu.
aku memilih hidupku dan aku hidup menggantikan nyawa ibuku yang hatinya telah merelakan keinginanku agar aku diambil olehmu.
indah, elok dan keajaibanmu yang hilangkan segala sakitku tak berarti di lutut-lutut dendam karena khianatmu. Kini aku menolakmu, walau itu melawan bangkang setengah semesta yang telah menghadirkan kita berdua.
bayang legam itu semakin susup dalam tubuhku yang tercerai berai melemah terengah dan bermandikan dingin peluh yang membutir perih, asin, dan nyeri. jantungku yang memburu tak beraturan kini memadam.
Sedap malam yang layu membusuk itu masih merebakkan sisa wangi ketika nafas panjang terhenti dalam rentang tengah setarikan yang tak berkelanjutan.
Segala nyeri di ragaku itu telah lenyap menguap. dan kesunyian pun memekak.
Aku terjaga dalam kerjap sabit bulan di tepi genang muntahan berbau kimia. Berpuluh butir tablet putih yang kutelan setengah leleh bercampur liur dan cairan lambungku. Maut yang demikian menggoda itu tercampak berlalu. Kali ini bukan ia yang berpaling dariku namun aku yang mengusirnya pergi dari hidup yang dipilihkannya untukku.