Mazmur khianat waktu di tepi peron


Punggung kepergian itu selalu diam.
/sela/

Hanya hembus mendung malam yang bersinar sabit setengah atau serupa
percik kilasan antara sejuk dan gerah yang lekat bertengger di tirai
jendela
ketika lagi lagi segala bergerak dalam ritme yang memburu, melibas hati dan
benak ke dalam gelagap, lalu sekejap surut bergerak lambat di bingkai
peranginan kelam di wajah kepulangan ataukah kebertolakan. Berderak
derak mengarak detak kembali melepas dekap. kekasih beranjak seolah
menuju sepi, dari genap temu sejoli ke absennya diri. untuk kesekian kali.
/sela/

Berdiri tegak sudah kaki kaki diantara applause dedebuan peron, memuai
basah sejenak tumpah di perlahan anjak, berangsur gumulan golak, sebelum
berluluh jadi kilap manis nelangsa yang pada permukaannya tergrafir
inisial para empunya kembara. tak ketinggalan: sececap catatan jumpa.
Keranjang segar teranyam, nyaris hampa, bersedia mengandungi buah-buah
ingatan yang telah ranum merekah masak di dahanan silang jalur tujuan.
Resap noda noda getah tak terbilas hingga menetas rindu menyenggugu
diantara tetabuhan iring iring kendara. Tergesa ingin merampas tetesmu
tersisa, sebelum tuntas lenyap dari pandang pelupuk mata.
/sela/

Bebatuan disisih untuk menanda jalan yang menyimpan setapak kita.
Dalam sandi sekam aksara yang fasih menangis juga tetawa. Lalu
terbilanglah nyawa sang waktu. Bentangnya angka dalam baris dan
kolom menyedu seperti bukan untukku. Penanda yang pada suatu akhir hari
selalu
terpaksa kupercayai. Ketika harus berserah dikhianati oleh waktu sekali
lagi.
Kembali lepas dekap jemari hadirmu di lereng berkabut ketika rindu.
Dari gunung hidup yang meruah pada daging dan darah kita, pulang lagi ke
dalam gaung-gaung ruang di rongga dada

/sela/


8 juni 2003