Narasi petarung urban 2*
sampai di ujung ngarai kata
batu batu tergelincir tersepuh angin deras rindu
membadai dalam bisu menggedor kekeluan nalar atas
kosa kata
di ujung ngarai kata..
tak lagi sepatah sanggup meruangkan resonan gaung-gaungnya
menyelaras hausnya ngarai hampa di bingkai hari
sunyi sekali lanskap lanskap itu. datar dalam riak
warna berkerut meleleh dalam menunggu sekelebat
denyut yang menyayatkan lagi debur nafas menderu
riuh..
riuh jadi sangat hening
rindu ruang tak terjamah di gelisah deru memburu
ruang yang tak terisi di gemuruh roda hari hari
ruang menyala tak tergilas seret serak belenggu belenggu
tergelincir,
tergelincir kerikil hari terhempas kandasku
terputus mengerang bisu
jadi karang karang wajahmu
terselip
dalam letih demi letih
meraup ciprat merindu
mandikan tubuh tubuh hati
aku telah merinduimu sebelum pagi jadi potret kenang tengah malam,
merindui lelap rindumu lebih dari merindui jendela pagi
memulangkan debur rindu yang tak pernah pergi
ada 360 rindu dalam tiap jam
lebih dari 8 jam 360 rindu sehari
rindu tanpa daya memuai putus asa melampaui waktu
menyublim lepas dari ruang
lalu penat memadat sebelum basah jadi embun
menetaskan gigil
menguraikan sepi
menuai detik detik berbulir..
membilang rindu demi rindu di dinding tembus yang dingin
di mana medan medan itu?
di mana pertarunganku?
Selagi karam terpuruk di damparku pada pesisirmu
debur pasang surut berkecamuk dalam tetes rindu,
yang berkabut lembut di pucat pasi rembulan siang.
Rinduku anak haram keletihan
Atau rindu semata luap kejujuran
ketika segala pertahanan roboh diluluh peluh
menoreh carut memisah sayatmu dan sayatku
lalu segera mengering lupa akan perih
jadi lapis lapis kuat terserak mengembuni tiang tiang,
menara berjaga di pendar optisnya menyusut
di gemeriak persalinan untuk sepi
payung teduhan pertarungan demi pertarungan yang kupilih
naung hentian Pertarungan yang tak kupilih
Diantara bercak noda dan luka pertarungan
Bermekar tunas tunas kerinduan sepi
Tegar tidak rapuh terguyur cacian langit
gerimis,
Jadi amunisi
hujan,
Jadi amnesti
Terik,
Jadi rindu yang tertinggal sendiri
....
terjaga lagi di kabut selubung kota ketika terang terkantuk
kota yang tak pernah berkabut
perjalanan berdesir menjenuh,
pandirku hilangkan nyala
berjalan dari kekosongan datar,
jengah di tanah datar .
merindukan rindu yang mati berguguran..
rindu hanyalah rindu
Tak kurang dari sebuah rindu
Tak lebih dari sebuah rindu
Dalam datar atau goncangnya, mencair atau membatu
Rindu hanya rindu
segala beranjak dalam temaram garis waktu
Pergi mengebaskan lepas paralel tunggu
Atau bergerak berlalu memulai lagi lintas lintasan tak temu
Regenerasi dari sunyi demi sunyi bersimbah waktu
Umbi lapismu, umbi lapisku
Telanjang pertarungan pertarunganku
Pertarungan mu
lebur satu
(*bagian dari kolaborasi yang gagal dengan Idaman Andarmosoko di "narasi paralel petarung urban")
sampai di ujung ngarai kata
batu batu tergelincir tersepuh angin deras rindu
membadai dalam bisu menggedor kekeluan nalar atas
kosa kata
di ujung ngarai kata..
tak lagi sepatah sanggup meruangkan resonan gaung-gaungnya
menyelaras hausnya ngarai hampa di bingkai hari
sunyi sekali lanskap lanskap itu. datar dalam riak
warna berkerut meleleh dalam menunggu sekelebat
denyut yang menyayatkan lagi debur nafas menderu
riuh..
riuh jadi sangat hening
rindu ruang tak terjamah di gelisah deru memburu
ruang yang tak terisi di gemuruh roda hari hari
ruang menyala tak tergilas seret serak belenggu belenggu
tergelincir,
tergelincir kerikil hari terhempas kandasku
terputus mengerang bisu
jadi karang karang wajahmu
terselip
dalam letih demi letih
meraup ciprat merindu
mandikan tubuh tubuh hati
aku telah merinduimu sebelum pagi jadi potret kenang tengah malam,
merindui lelap rindumu lebih dari merindui jendela pagi
memulangkan debur rindu yang tak pernah pergi
ada 360 rindu dalam tiap jam
lebih dari 8 jam 360 rindu sehari
rindu tanpa daya memuai putus asa melampaui waktu
menyublim lepas dari ruang
lalu penat memadat sebelum basah jadi embun
menetaskan gigil
menguraikan sepi
menuai detik detik berbulir..
membilang rindu demi rindu di dinding tembus yang dingin
di mana medan medan itu?
di mana pertarunganku?
Selagi karam terpuruk di damparku pada pesisirmu
debur pasang surut berkecamuk dalam tetes rindu,
yang berkabut lembut di pucat pasi rembulan siang.
Rinduku anak haram keletihan
Atau rindu semata luap kejujuran
ketika segala pertahanan roboh diluluh peluh
menoreh carut memisah sayatmu dan sayatku
lalu segera mengering lupa akan perih
jadi lapis lapis kuat terserak mengembuni tiang tiang,
menara berjaga di pendar optisnya menyusut
di gemeriak persalinan untuk sepi
payung teduhan pertarungan demi pertarungan yang kupilih
naung hentian Pertarungan yang tak kupilih
Diantara bercak noda dan luka pertarungan
Bermekar tunas tunas kerinduan sepi
Tegar tidak rapuh terguyur cacian langit
gerimis,
Jadi amunisi
hujan,
Jadi amnesti
Terik,
Jadi rindu yang tertinggal sendiri
....
terjaga lagi di kabut selubung kota ketika terang terkantuk
kota yang tak pernah berkabut
perjalanan berdesir menjenuh,
pandirku hilangkan nyala
berjalan dari kekosongan datar,
jengah di tanah datar .
merindukan rindu yang mati berguguran..
rindu hanyalah rindu
Tak kurang dari sebuah rindu
Tak lebih dari sebuah rindu
Dalam datar atau goncangnya, mencair atau membatu
Rindu hanya rindu
segala beranjak dalam temaram garis waktu
Pergi mengebaskan lepas paralel tunggu
Atau bergerak berlalu memulai lagi lintas lintasan tak temu
Regenerasi dari sunyi demi sunyi bersimbah waktu
Umbi lapismu, umbi lapisku
Telanjang pertarungan pertarunganku
Pertarungan mu
lebur satu
(*bagian dari kolaborasi yang gagal dengan Idaman Andarmosoko di "narasi paralel petarung urban")