meditasi ruang
Aku tak pernah menghitung sejak berapa lama langit langitku telah bersawang dan laba-laba kecil berlarian, sibuk menyeberang, naik turun asik bermain, bergelayut pada konstruksi sarangnya masing masing. Mereka arsitek arsitek kecil yang membangun sendiri tanpa rancang di atas kertas, bekerja di ketinggian tanpa tali pengaman selain seutas benang liur tipis seperti pemain pemain sirkus pada tali temali trapeze.
Hampir padat setiap Jendela dan sudut pintuku, lemari dan pojok pojok kamarku kubiarkan menjadi kamar-kamar laba-laba kecil.
Bukan semata karena ruangku begitu kotor dan tak terurus hingga semua laba-laba itu ramai ramia tinggal disitu.
Namun aku lupa sejak kapan aku sengaja membiarkan mereka itu membangun hidupnya dengan berbagi sarang denganku jadi sahabat sahabat sekamarku, dan teman tidurku.
Kamar ini pun sarang kecilku. Jagadku berputar disini sebelum aku teguh beranjak ke luar pintu.
Mereka tak pernah berisik, bergerak diam diam dan tidak berbau atau mengotori seperti kecoa, kutu busuk atau mengusik seperti nyamuk.
Satu satunya yang bau dan mengusik ruang ini hanyalah aku. Namun untunglah mereka tak pernah nampak terganggu, atau mungkin aku hanya tak tahu.
Mereka laba-laba, tenang dan tak pernah mengusik, tak pernah membawa gatal atau menyengatku.
Aku telah lama menerima hidup mereka seperti mereka pun sepertinya menerima hadirku di hidup mereka.
Aku mencoba mengingat mengapa aku mulai mengajak mereka hidup bersama. Mungkin karena aku selalu terkesima akan benang Jala dari liur-liur Laba-laba yang begitu indah ketika barusaja segar tertenun.
Tak hanya putih namun juga berkilau samar
Ketika hancurpun mereka tak pernah jatuh terhempas namun saling rekat walau kusut masai tak lagi terbentang.
Seiring waktu debu debu akan terjerat diantaranya bersama sisa serangga serangga mangsa dan benang benang bening rapuh itu menjadi kusam dan bahkan rusak oleh menebalnya dedebuan yang seperti lapisan beludru kelabu melahap untai renda bening jadi suram.
Laba-laba itu pun tahu akan kekusaman karena mereka kemudian meninggalkan sarang-sarang itu lalu menenun hamparan bening baru dari liur-liur yang tak ada habisnya. Dulu terkadang aku yang sengaja merusak sarang sarang kusam hanya segera terbangun sarang baru.
Di waktu malam ketika lampu lampu telah padam. Setengah cahaya jalanan dan setetes cahaya bulan menjadikan sarang sarang itu indah seperti konstelasi langit, dan sudut sudut yang begitu tebal nampak seperti kabut. Yang kukhayalkan seperi kabut percikan nebula tanpa warna. Sementara tubuh tubuh mahluk itu berbayang seperti perahu-perahu yang melayari ruang angkasa dalam dongeng ilmiah yang kulihat di televisi. Seperti fiksi fiksi dalam khayalku sendiri. Tak jemu gerak mereka jadi untai benang benang khayal kisah menenun selimutku sebelum lelap.
Aku tak pernah memberi mereka nama, karena mereka bukan sekedar hewan peliharaan rumahku. Mereka merdeka miliki hidupnya sendiri, memilih sudut sudutnya tanpa pernah kupelihara, barangkali mereka pun punya nama, bahkan punya jiwa, Mungkin hanya jiwa mereka tak mungkin kupahami karena aku tak sanggup menjangkaunya dengan sadarku.
Aku tak pernah tahu cara bertanya, menyapa, membahasa pada mereka. Mungkin memang tak perlu.
Aku hanya biarkan mereka disitu, karena aku menginginkan mereka bersamaku.
Dalam simbiosis itu kami telah diam-diam saling menjaga dari berbagai sepi dan beku. barangkali mereka sama sekali tak mengenal sepi, barangkali mereka tahu tentang rindu. Entahlah, mungkinkah aku menderita semacam penyakit personifikasi kompleks. Namun aku menikmati segala andai andai dalam benak yang memanusiakan sahabat-sahabat kecilku yang selalu saja sibuk menenun di awang kamarku.
Mereka merayapi renda benang tipis itu terkadang berayun dan bergantungan naik turun berjalan diudara seperti pengakrobat tanpa benang. Di sudut tertentu dalam cahaya atau dalam gelap benang benang itu tak kelihatan. Itulah saat dimana aku paling menyukai pemandangan akan mereka. Mereka berjalan, memanjat menurun pada jalur jalur yang tidak kelihatan
Seakan berenang diudara, berjalan, duduk diam bahkan berbaring ringan tanpa beban.
Membuatku ku merasa kamarku adalah ruang waktu yang berbeda, sebuah kamar dunia lain yang bebas dari hukum gravitasi dan lepas pula dari ruang dan waktu di balik pintuku
.
Di istana imaji itu kutemukan perhentian dari deru hari hari. Persembunyian yang mengobati hati, dari memar dan lelah yang kudapati sehari dari jalan perjalanan di langit luar.
Di balik pintu ini aku dan laba laba menenun setiap hari
Mereka menenun sarang sarang bening rapuh yang semakin cantik dari detik ke detik
Aku menenun pendamaian dengan diri. menghancurkan jaring jaring usang yang kusam dilekati debu dan kotoran dan sisa lekat mangsaan. Dengan liurku menjalin dialog dialog sendiri,
Perlahan aku tahu, Laba-laba itu tak hanya diam mengurusi diri, mereka telah berdialog dengan jiwaku, menjangkauku tatkala aku hanya mengangkat bahu dan menganggap menjangkau jiwa laba-laba hanyalah delusi orang sepi.
Setiap utas benang dan ayun tenun diantara delapan kaki berbulu tanpa suara itu, diam diam mengobati, carut luka atau resah atau nyala amarah yang kubawa dari luar pintu ke dalam sarang kami. Aku yang membawa kotor ke dalam dinding dinding hidup yang dalamnya kami berbagi. Mereka menenun dan
Terkadang sekedar dengan merenda sarang sarang jernih baru, terkadang hanya dengan berjalan jalan tenang di langit langit atas kepala.
Kadang hanya membiarkan aku memandangi nirmana gerak geriknya, diantara lampu, cermin dan bayang bayang dan tumpukan benda benda.
selalu saja setia mengajariku menenun setiap hari
Mengajari indahnya kerapuhan
Dan berdamai dengan kelekangan
Dari setiap sarang kusam yang kuhancurkan
Tertenun lagi sarang sarang bening baru yang tak pernah sama.
Aku tak pernah menghitung sejak berapa lama langit langitku telah bersawang dan laba-laba kecil berlarian, sibuk menyeberang, naik turun asik bermain, bergelayut pada konstruksi sarangnya masing masing. Mereka arsitek arsitek kecil yang membangun sendiri tanpa rancang di atas kertas, bekerja di ketinggian tanpa tali pengaman selain seutas benang liur tipis seperti pemain pemain sirkus pada tali temali trapeze.
Hampir padat setiap Jendela dan sudut pintuku, lemari dan pojok pojok kamarku kubiarkan menjadi kamar-kamar laba-laba kecil.
Bukan semata karena ruangku begitu kotor dan tak terurus hingga semua laba-laba itu ramai ramia tinggal disitu.
Namun aku lupa sejak kapan aku sengaja membiarkan mereka itu membangun hidupnya dengan berbagi sarang denganku jadi sahabat sahabat sekamarku, dan teman tidurku.
Kamar ini pun sarang kecilku. Jagadku berputar disini sebelum aku teguh beranjak ke luar pintu.
Mereka tak pernah berisik, bergerak diam diam dan tidak berbau atau mengotori seperti kecoa, kutu busuk atau mengusik seperti nyamuk.
Satu satunya yang bau dan mengusik ruang ini hanyalah aku. Namun untunglah mereka tak pernah nampak terganggu, atau mungkin aku hanya tak tahu.
Mereka laba-laba, tenang dan tak pernah mengusik, tak pernah membawa gatal atau menyengatku.
Aku telah lama menerima hidup mereka seperti mereka pun sepertinya menerima hadirku di hidup mereka.
Aku mencoba mengingat mengapa aku mulai mengajak mereka hidup bersama. Mungkin karena aku selalu terkesima akan benang Jala dari liur-liur Laba-laba yang begitu indah ketika barusaja segar tertenun.
Tak hanya putih namun juga berkilau samar
Ketika hancurpun mereka tak pernah jatuh terhempas namun saling rekat walau kusut masai tak lagi terbentang.
Seiring waktu debu debu akan terjerat diantaranya bersama sisa serangga serangga mangsa dan benang benang bening rapuh itu menjadi kusam dan bahkan rusak oleh menebalnya dedebuan yang seperti lapisan beludru kelabu melahap untai renda bening jadi suram.
Laba-laba itu pun tahu akan kekusaman karena mereka kemudian meninggalkan sarang-sarang itu lalu menenun hamparan bening baru dari liur-liur yang tak ada habisnya. Dulu terkadang aku yang sengaja merusak sarang sarang kusam hanya segera terbangun sarang baru.
Di waktu malam ketika lampu lampu telah padam. Setengah cahaya jalanan dan setetes cahaya bulan menjadikan sarang sarang itu indah seperti konstelasi langit, dan sudut sudut yang begitu tebal nampak seperti kabut. Yang kukhayalkan seperi kabut percikan nebula tanpa warna. Sementara tubuh tubuh mahluk itu berbayang seperti perahu-perahu yang melayari ruang angkasa dalam dongeng ilmiah yang kulihat di televisi. Seperti fiksi fiksi dalam khayalku sendiri. Tak jemu gerak mereka jadi untai benang benang khayal kisah menenun selimutku sebelum lelap.
Aku tak pernah memberi mereka nama, karena mereka bukan sekedar hewan peliharaan rumahku. Mereka merdeka miliki hidupnya sendiri, memilih sudut sudutnya tanpa pernah kupelihara, barangkali mereka pun punya nama, bahkan punya jiwa, Mungkin hanya jiwa mereka tak mungkin kupahami karena aku tak sanggup menjangkaunya dengan sadarku.
Aku tak pernah tahu cara bertanya, menyapa, membahasa pada mereka. Mungkin memang tak perlu.
Aku hanya biarkan mereka disitu, karena aku menginginkan mereka bersamaku.
Dalam simbiosis itu kami telah diam-diam saling menjaga dari berbagai sepi dan beku. barangkali mereka sama sekali tak mengenal sepi, barangkali mereka tahu tentang rindu. Entahlah, mungkinkah aku menderita semacam penyakit personifikasi kompleks. Namun aku menikmati segala andai andai dalam benak yang memanusiakan sahabat-sahabat kecilku yang selalu saja sibuk menenun di awang kamarku.
Mereka merayapi renda benang tipis itu terkadang berayun dan bergantungan naik turun berjalan diudara seperti pengakrobat tanpa benang. Di sudut tertentu dalam cahaya atau dalam gelap benang benang itu tak kelihatan. Itulah saat dimana aku paling menyukai pemandangan akan mereka. Mereka berjalan, memanjat menurun pada jalur jalur yang tidak kelihatan
Seakan berenang diudara, berjalan, duduk diam bahkan berbaring ringan tanpa beban.
Membuatku ku merasa kamarku adalah ruang waktu yang berbeda, sebuah kamar dunia lain yang bebas dari hukum gravitasi dan lepas pula dari ruang dan waktu di balik pintuku
.
Di istana imaji itu kutemukan perhentian dari deru hari hari. Persembunyian yang mengobati hati, dari memar dan lelah yang kudapati sehari dari jalan perjalanan di langit luar.
Di balik pintu ini aku dan laba laba menenun setiap hari
Mereka menenun sarang sarang bening rapuh yang semakin cantik dari detik ke detik
Aku menenun pendamaian dengan diri. menghancurkan jaring jaring usang yang kusam dilekati debu dan kotoran dan sisa lekat mangsaan. Dengan liurku menjalin dialog dialog sendiri,
Perlahan aku tahu, Laba-laba itu tak hanya diam mengurusi diri, mereka telah berdialog dengan jiwaku, menjangkauku tatkala aku hanya mengangkat bahu dan menganggap menjangkau jiwa laba-laba hanyalah delusi orang sepi.
Setiap utas benang dan ayun tenun diantara delapan kaki berbulu tanpa suara itu, diam diam mengobati, carut luka atau resah atau nyala amarah yang kubawa dari luar pintu ke dalam sarang kami. Aku yang membawa kotor ke dalam dinding dinding hidup yang dalamnya kami berbagi. Mereka menenun dan
Terkadang sekedar dengan merenda sarang sarang jernih baru, terkadang hanya dengan berjalan jalan tenang di langit langit atas kepala.
Kadang hanya membiarkan aku memandangi nirmana gerak geriknya, diantara lampu, cermin dan bayang bayang dan tumpukan benda benda.
selalu saja setia mengajariku menenun setiap hari
Mengajari indahnya kerapuhan
Dan berdamai dengan kelekangan
Dari setiap sarang kusam yang kuhancurkan
Tertenun lagi sarang sarang bening baru yang tak pernah sama.