Mata Laki-laki
Sepasang matanya yang bahkan tak menatap lurus padaku telah menghisap segala teduh di bawah atap restoran ini. Menggusur warna-warna hari dan bayangnya menepi, membisukan perlahan keriuhan dalam kubah bening sadarnya.. sejernih anak kecil
Keheningan selalu mencuri. mencuri benakku ke dalam ruang ruangnya lalu mengajakku torehkan mural mural rasa disana.
seperti siang ini, waktu pintu ke ruang mural kesunyian itu ternganga pada gementing gelas dan meja meja.
Grendelnya dibuka oleh wajah seorang tua duduk disalah satu ujungnya.
Dari mejaku ke mejanya ada ruang yang redup hanya menajam terang di pancaran wajahnya.
Redup matanya yang seperti tak mendengar keriuhan anak anak kecil dan anak anaknya yang dewasa dan pengasuh-pengasuh bayi yang kerepotan menyuapi bandel-bandel kecil yang bermain berkejaran kesana kemari.
aku terseret tegun sesekali memandang wajah seorang lelaki, seorang bapak, bahkan seorang kakek..
hampir selalu kutemukan wajah kanak-kanaknya entah berdiam atau mengintip.
Bahkan pada sorot mata yang paling berkilat liar selalu saja ada kebeningan kolam tersisa dari hari hari itu.
Hari-hari cerah biru dan keceriaan permainan sepanjang waktu.
Wajah seorang anak kecil, jernih dan tajam berparalel dengan kerut kerontang yang letih dan lanjut dalam kerentaan.
Nyala yang membara mengemis penaklukan yang lalu menyusut dalam kepolosan hasrat kerinduan menyerpih dalam kegembiraan sederhana. Terbingkai di jendela sukma.
Anak kecil di mata itu tak pernah tahu bahwa aku disana menemukannya tak sengaja.
Ada dinding ngarai kaca yang memisah segala tanyaku menyebrang pada kedalamannya
sementara aku berusaha meretas bayang jejaknya yang masih bisa kubaca
Apa gerangan yang membuatnya masih saja tinggal disana?
Setia bersama waktu dan perihnya perjalanan menuju ketiadaan.
Setia bersama hampa dan jeda dan jarak antara kenaifan dan tempa perih hidup berkepanjangan.
Setia tinggal dalam kesepian ataupun penuhnya hati di segenap relung relungnya
Apakah karena kanak-kanak itu adalah jiwa yang sama yang mampu berjalan jauh sekali hingga kerentaan?.
Mungkin dalam raksasa kedewasaannya sekalipun ia adalah kanak kanak tuk hati seseorang.
Seseorang dimana telah ditemunya pelabuhan jiwa yang mungkin seperti ibu sejati yang menggiring mereka kembali pulang kepada diri sendiri. Pulang dalam keriap narasi hati kanak-kanak lagi.
Mungkin hanya karena jiwa mu terjaga dalam teduh cinta atau sekedar dalam kerinduan karena absennya.
Apakah karena istrimu, kekasihmu, tempatmu menaruhkan istirah jiwa tinggal tenang seperti kembali di naung ibundamu?
ataukah anak-anak? dan anak dari anak-anakmu? yang menyemai kembali wajah kanak-kanakmu itu?
atau kah ia selalu hanya lah dirimu?
wajah anak kecil itu bayang kerapuhan yang justru kekuatan
Selamanya terjaga kebeningan kanak-kanak yang jernih itu tinggal dalam satu rahim cinta pahlawanmu
dalam radiasi kasih seorang yang menjaga hati, menjaga hidup, menjaga kejernihan,
dalam pulas kejujuran matamu, mata seorang laki-laki.
Seperti terdampar di jendela sukma seorang manusia..
Tak pernah kumengerti mengapa aku menemukan sorot itu disana, di wajah wajah asing yang bahkan tak kukenali
Mata itu, meluapkan tumpah kenang akan berderet wajah yang hampir selalu kukenali, sorot kanak-kanaknya yang tak pergi
dan aku mungkin telah membenci mata itu dalam jernih rahasianya, dalam hening inginku mendapati juga bayangku di geming kolam mata selayak itu.
kulepaskan rantai kembara benakku dari sosok kanak-kanak di mata laki-laki itu
berpaling dari kepolosan hampa teduhnya yang masih saja jadi pusaran sunyi di ruang antara kami.
menghisap keriuhan siang dan gelak canda keluarga dalam komposisi musik diantara denting gelas di meja meja.
Meneduh di gerak lambat waktu yang tak lelah mengelupasi penyangkalanku.
20 jan 2002
Sepasang matanya yang bahkan tak menatap lurus padaku telah menghisap segala teduh di bawah atap restoran ini. Menggusur warna-warna hari dan bayangnya menepi, membisukan perlahan keriuhan dalam kubah bening sadarnya.. sejernih anak kecil
Keheningan selalu mencuri. mencuri benakku ke dalam ruang ruangnya lalu mengajakku torehkan mural mural rasa disana.
seperti siang ini, waktu pintu ke ruang mural kesunyian itu ternganga pada gementing gelas dan meja meja.
Grendelnya dibuka oleh wajah seorang tua duduk disalah satu ujungnya.
Dari mejaku ke mejanya ada ruang yang redup hanya menajam terang di pancaran wajahnya.
Redup matanya yang seperti tak mendengar keriuhan anak anak kecil dan anak anaknya yang dewasa dan pengasuh-pengasuh bayi yang kerepotan menyuapi bandel-bandel kecil yang bermain berkejaran kesana kemari.
aku terseret tegun sesekali memandang wajah seorang lelaki, seorang bapak, bahkan seorang kakek..
hampir selalu kutemukan wajah kanak-kanaknya entah berdiam atau mengintip.
Bahkan pada sorot mata yang paling berkilat liar selalu saja ada kebeningan kolam tersisa dari hari hari itu.
Hari-hari cerah biru dan keceriaan permainan sepanjang waktu.
Wajah seorang anak kecil, jernih dan tajam berparalel dengan kerut kerontang yang letih dan lanjut dalam kerentaan.
Nyala yang membara mengemis penaklukan yang lalu menyusut dalam kepolosan hasrat kerinduan menyerpih dalam kegembiraan sederhana. Terbingkai di jendela sukma.
Anak kecil di mata itu tak pernah tahu bahwa aku disana menemukannya tak sengaja.
Ada dinding ngarai kaca yang memisah segala tanyaku menyebrang pada kedalamannya
sementara aku berusaha meretas bayang jejaknya yang masih bisa kubaca
Apa gerangan yang membuatnya masih saja tinggal disana?
Setia bersama waktu dan perihnya perjalanan menuju ketiadaan.
Setia bersama hampa dan jeda dan jarak antara kenaifan dan tempa perih hidup berkepanjangan.
Setia tinggal dalam kesepian ataupun penuhnya hati di segenap relung relungnya
Apakah karena kanak-kanak itu adalah jiwa yang sama yang mampu berjalan jauh sekali hingga kerentaan?.
Mungkin dalam raksasa kedewasaannya sekalipun ia adalah kanak kanak tuk hati seseorang.
Seseorang dimana telah ditemunya pelabuhan jiwa yang mungkin seperti ibu sejati yang menggiring mereka kembali pulang kepada diri sendiri. Pulang dalam keriap narasi hati kanak-kanak lagi.
Mungkin hanya karena jiwa mu terjaga dalam teduh cinta atau sekedar dalam kerinduan karena absennya.
Apakah karena istrimu, kekasihmu, tempatmu menaruhkan istirah jiwa tinggal tenang seperti kembali di naung ibundamu?
ataukah anak-anak? dan anak dari anak-anakmu? yang menyemai kembali wajah kanak-kanakmu itu?
atau kah ia selalu hanya lah dirimu?
wajah anak kecil itu bayang kerapuhan yang justru kekuatan
Selamanya terjaga kebeningan kanak-kanak yang jernih itu tinggal dalam satu rahim cinta pahlawanmu
dalam radiasi kasih seorang yang menjaga hati, menjaga hidup, menjaga kejernihan,
dalam pulas kejujuran matamu, mata seorang laki-laki.
Seperti terdampar di jendela sukma seorang manusia..
Tak pernah kumengerti mengapa aku menemukan sorot itu disana, di wajah wajah asing yang bahkan tak kukenali
Mata itu, meluapkan tumpah kenang akan berderet wajah yang hampir selalu kukenali, sorot kanak-kanaknya yang tak pergi
dan aku mungkin telah membenci mata itu dalam jernih rahasianya, dalam hening inginku mendapati juga bayangku di geming kolam mata selayak itu.
kulepaskan rantai kembara benakku dari sosok kanak-kanak di mata laki-laki itu
berpaling dari kepolosan hampa teduhnya yang masih saja jadi pusaran sunyi di ruang antara kami.
menghisap keriuhan siang dan gelak canda keluarga dalam komposisi musik diantara denting gelas di meja meja.
Meneduh di gerak lambat waktu yang tak lelah mengelupasi penyangkalanku.
20 jan 2002