immortality


1
Ada geming yang menetes perlahan menggusur ruang sadarku ke tepi. lebur dalam kesepian panjang yang bukan sepenuhnya milikku.
Sepucuk surat yang kutuliskan, kubaca berulang semalaman, kutulis ulang agar semakin sederhana. Akhirnya kututup di dalam amplopnya.
Hangat air mataku yang mungkin hanya karena cekaman kantuk kugunakan tuk basahi perekatnya
Lalu aku mendengarkan sendiri nafasku dalam sebuah desah yang panjang mengakhiri tirai malam...
Mungkin letih, mungkin lega, mungkin ada hal yang sungguh sungguh tak kasat mata sedang mendebur di semesta..

Ada sesekali ketika nafas kita seakan lenyap tertelan cumbuan manis kekasih yang menyengat dalam lembutnya.
Terhenti waktu seakan selamanya, lalu dalam seketika jeda terlepas desahan panjang yang tersadar akan betapa telah sesaknya dada tertahan. Dalam sentuhan manis yang menyerap segala daya hingga sekujur bergetar. Melunglai, menderai, gemulai dan tiada akhir. Dekap hasrat menggelora, keindahan kasih dan gelombang pasang birahi yang melebur seakan jadi semesta di waktu dan ruang yang tiada.

Seperti itulah gigil yang mendekapku ketika hidup seakan mencumbuku setiap kesendirian menyeretku.
Mencuri nafasku dalam bisik tuturnya yang menawan hendak mencuri pula jiwaku dengan deraan gamang, kerawanan dan kehampaan yang teramat manis terlanjur kucintai.

Diwaktu waktu ini kesunyian begitu birahi padaku

Meliriskan ombak ombak rayu untuk menjatuhkan pertahananku dari perjalanan nyata, menjarah sadarku kepada benak kesadaran hening. Dan aku pun selalu dikalahkan kerinduan akan cumbuan sunyi di gerai gerai rambutku dan sibak tengkukku yang meremang.
Memenjarakanku dalam derai kehausan ku akan kejujuran cinta sang sunyi .Bahkan kenangpun tak mampu membangkitkan sensasi waktu yang pernah ada itu untuk dipeluk lagi di kala telah berlalu

Rayuannya adalah tetesan getir dingin yang menyentakku dari tidur tidur dan mimpi berkepanjangan..
Dan percintaanku dengan kesunyian melahirkan kata kata yang mengoyakku terjaga dalam tegun akan tumbuhnya benihku dan benih kesunyian melebur menjadi kisah di percikan rawannya waktu..

Seperti kerentaan usia, seperti kerentaan jiwa.. Dimana kesunyian telah jadi kematian untuk banyak masa dan kenang. Dan makna tak sanggup lagi menghidupkan sisa perjalanan yang aus dilahap ketuaan. Namun aku diam diam berjanji akan memenangkan hidup, mengalahkan maut yang berjalan jalan atas tubuh. Yang bergerilya di medan berdetik kala hendak terus mencuri ceceran jiwa.

Kutepis debu dari mejaku, kata demi kata itu terselip ke dalam sadar merengek padaku tuk menyusui mereka dengan nyawaku ..“…..

Meyakinkan tekad dalam diriku, Surat ini kutulis untuk seorang ksatria. Ksatria yang lama telah berperang bahkan sebelum aku dilahirkan. Ksatria yang jubah perangnya telah habis oleh karat dan yang pedangnya lama terpatah patah.


2
Entah berapakah usianya. Anak dan cucunya serta cucu dari cucu anaknya telah berhenti menghitungnya sejak lama.
Semenjak ia tak lagi sama, mereka mengatakan ia gila karena terlalu tua.
Apa yang disampaikannya tak lagi bermakna. Mereka kemudian harus berpayah membaca rautnya untuk mengerti yang sungguh diinginkannya.
Ingatannya telah merontok dari detik ke detik hingga ia tak ingat lagi ketika menelanjangi dirinya di kamar mandi, atau apakah yang sesaat hendak dilakukannya. Sesekali ia mandi dengan pakaian lengkap dan sepatu di kakinya. Sepatu. Ia pun tak bisa lagi membedakan kanan dan kiri dan sepasang sepatu yang seharusnya sama.
Seperti ia tak ingat lagi akan nama atau pun istrinya atau anak anaknya.

Rautnya penuh kekesalan dan amarah ketika setiap hari ia berceloteh namun tak seorang pun mengerti apa yang diinginkannya.
Laki laki itu selalu nampak marah. Hidup penuh dengan segala hal yang tak berkenan di matanya. Seperti kamar tidurnya yang tak lagi dikenalinya, rumah yang tak lagi ia rasakan seperti miliknya. Ia pun kesal, mungkin juga sedih, mungkin ia tak mampu lagi bersedih karena kemunduran otaknya yang sedemikian. Ia bicara dalam bahasa yang mungkin hanya dimengerti olehnya, sesekali bahasa yang digunakan di masa kecilnya dan hanya sedikit dari anak anaknya yang mengingat artinya.
Tiap hari air matanya meleleh, bukan karena menangis namun karena matanya telah sarat berlendir dan sebegitu rentan akan infeksi.
Jika ia tak merajuk, wajahnya hanya datar, datar tak berdaya dan sepertinya ketidakberdayaan itulah yang membuatnya selalu marah, entah kepada siapa dan apa alasannya ia tak lagi mengerti.
Hidup mengebas sekejap seakan baru dimulai disaat pagi hari kemarin. Dan hampir tak tinggalkan jejak lagi di pasir pasir memorinya.

Rapuh. Tubuhnya telah serapuh kristal tipis yang terhuyung. Bergerak tertatih masih saja enggan mengakui kebutuhannya akan papahan atau bantuan dari siapapun. Ditolaknya juga semua uluran kasih tulus keluarganya. Ia tak mengerti mengapa, ia hanya bukan orang yang sama
Hampir lenyap segala yang dimiliki kenangannya yang masih saja kokoh seperti baja adalah kebanggaannya. Lalu tabiatnya yang keras kepala. Dan kebanggaannya atas dirinyakah atau apapun juga tak satu pun memahaminya, tidak juga ia.

Semakin hari anak anaknya yang telah mulai merenta merasa Ayah mereka semakin terhilang dari keterikatan kasih di darahnya. Semakin asing dan semakin hampa rasanya, walau mereka selalu berada di bawah satu atap.
Semakin jauh ia dari sadarnya, hanya tubuhnya yang berjalan menuntut makan, istirahat, mencari hiburan diluar celoteh kesalnya pada segala.

Matanya tak hanya rabun, namun kacamata yang dibelikan oleh anak nya itu tak membantunya untuk memahami lagi bentuk aksara sekalipun cukup jelas dilihatnya.

Hari itu ia menerima sepucuk surat. Alamat pengirimnya dari luar kota. Dengan amplop besar beberapa lembar, Dari seseorang yang jarang sekali dilihatnya apalagi dikenalinya. Laki laki itu tak lagi mengenali satupun cucunya. Bahkan mungkin ia tak tahu lagi makna “cucu” selain dari keganjilan bunyi vokalnya di telinga.

Walau tak mengerti nalurinya tahu sepucuk surat berkodrat untuk dibuka.

Seorang pengasuh manula yang digaji oleh anak anaknya untuk menjagai dan merawatnya sepanjang waktu itu pun dimakinya ketika hendak membantunya membuka dan membacakan surat itu.

Angkuh menyangkali kebingungannya dikeluarkannya surat itu..



Kakek tersayang,

telah kubeli sebuah tempat diatas bukit untuk kakek, tempat paling cantik yang bisa kutemukan di pinggir kota. Untukku mungkin akan jadi tempat yang paling indah di dunia.
Di hamparan rumputnya ada bulir bulir kapas liar. Di sisi baratnya ada deret pinus yang sengaja ditanam untuk menandai dan meneduhi tempat itu, telah kupertimbangkan semuanya supaya di pagi hari hangat matahari tak akan terhadang, dan sore hari berbayang teduh seperti pilar istana yang atapnya adalah langit. Tempat itu jauh dari keramaian dan Kakek bisa tenang tinggal disana dan Jika kakek menginginkannya mulai hari ini pun setiap sore kakek bisa membawa kursi malas kesayangan kakek lalu duduk duduk disana sekedar minum teh dan menikmati pemandangan. Aku tahu kakek suka kesunyian yang mungkin telah bertahun hilang, Karena rumah kakek sekarang telah terlalu ribut dengan anak cucu yang berlarian bunyi televisi, telepon, klakson dan pertengkaran.
Kakek akan dan pasti terbebas dari itu semua.

Ini hadiah untuk ulang tahun kakek, yang akhirnya bisa kuberikan untukmu, setelah sekian banyak ulang tahunmu yang kulupakan
Sebidang tanah 2X1meter di atas bukit dengan pemandangan..
Bersama ini Kusertakan semua surat suratnya.

Semoga kau menyukainya.

Cium dari Cucumu



..

lembar lembar surat surat lainnya gemeresak dibolak balik, lalu ia kembali lagi ke surat yang ditulis dengan tangan oleh cucunya yang tak sanggup diingatnya itu.
ekspresi laki laki itu berubah ubah, ia sulit mengerti kaitan satu kata dengan kata yang lainnya dalam surat itu. Bantuan dari Perawatnya pun ditepisnya lagi. Ia terlalu bangga akan dirinya untuk mengakui ketidakmampuannya lagi membaca apalagi memahami, namun ia pun tak lagi cukup mengerti untuk merasa frustasi.
Ia memarahi perawatnya, menuduh menyembunyikan surat surat yang ia terima. Lalu riuh lah rumah oleh omelannya yang tak masuk akal dan berbagai tuduhannya kepada semua orang dalam kata kata yang sulit diterima nalar...
Mungkin Ia hanya kesal tak mampu memahami sepucuk surat pendek dari seseorang yang entah pula tak bisa lagi dikenangnya..

……..


3
….debu debu yang kutiupkan pergi mungkin masih melayang layang tanpa aku bisa melihatnya di keremangan tengah malam.
Surat ini kutuliskan untuk Ksatria renta mempersenjatai diri terakhir kali melawan olok olok maut di kehormatan hidupnya.

Sejenak rayuan sepi padaku bertutur lagi tentang .aku yang seperti debu ditiupkan hembusan mesra kehidupan. Melayang tinggi rawan dalam sesak dan cekat mendebur nikmat gelisahnya. Dalam kelelahan bercinta dengan sepi akupun jatuh tertidur
bermimpi akan kekekalan berselimut rerumputan kapas liar di perbukitan dan pohon pohon pinus, sementara seorang renta damai berdiri di paras sendyakala yang tak pernah lagi terbenam.

Esok pagi pagi sekali surat itu kukirimkan.


….

(Ps: jika kakek terkubur di tanah itu, katakan pada maut, ia tak bisa taklukan keindahan…)