Bi


Rantai sadarku menyala pada gaung setetes keheningan cahaya pagi.
Terjaga di ruang bening embun yang dingin dan berbias distorsi.
Hembus kemudaan hari terbingkai di ruang kamar ini, di sprei sejuk dan langit langitnya bersama lembab terarak canda-cumbu burung burung yang tak pernah menerobos inderaku sedemikian tajam seperti hari ini. Aku tak pernah begini
Mungkin aku masih belum sungguh terjaga atau inilah terjaga dalam mimpi.
Karena aku seperti mendengar diriku bernarasi tentang pagi

Ada kebas dingin samar yang masih terasa bergolak di udara seperti sehabis ditinggalkan sebuah sosok dalam absen hampanya di sisi.

Kemanakah ia pergi?
Balut hangat kembang api mimpiku yang harusnya terbaring di sisiku?
Dan rahim bathinku terus memuntahkan narasi kata akan kenangku yang menajam dan mengabur seperti tak bisa kubedakan lagi manakah mimpi manakah nyata.. rahim bathinku? Darimana kosa kata itu terjatuh? Aku tak punya rahim. Aku laki laki.

Siapakah dia, perempuan yang membaringkan lelap wajahnya ke dalam dekapku semalaman.
Sehabis letih kami bercinta nyaris tanpa jeda. Siapakah dia, atau apakah ia yang tergores dalam kenangku yang masih penuhi benakku sarat dengan gambar gambar dirinya berlalu.
Aku tak mengenalnya. Aku tidak mengenal perempuan itu, tidak lagi setelah semalam berlalu dan tak kutemukan hangat bibirnya lagi di pagi yang begitu…. Hampa?
Aku tak sanggup merenda lagi kata kata untuk menyelubungi membengkaknya kemegahan pagi di kepergiannya. Tak sanggup lagi menterjemahkan dalam nalar segala rasa yang mendebur sesak di dada. Rasa rasa asing yang lamat lamat seperti kelembutan kuberanikan diri tuk kukenali, ada manis yang begitu samar, subtil.. atau mungkin hanya aku yang enggan mengakui hadirnya rasa itu yang setajam kicau pagi yang menusuk hingga ke telinga telinga sanubariku.

Aku terbiasa untuk menyangkali rasa, menolak kelembutan dan menghindari terseret ombak membalik dari hempasan rasa. Aku bertahan dengan panyangkalan. Dengan penjelasan logika, aku menyangkali rasa sebagai bagian dari hidupku, membangun segala tembok pertahanan dari sergapan emosi. Aku terbiasa untuk membenci rasa. Rasa melemahkan lutut dan jantungku. Membuatku sakit dan tak sanggup menghadapi hari dengan diriku yang sejati.
Namun pagi ini sepertinya segala bentengku telah roboh dan aku meluluh dalam berlaksa hujan rasa seperti tertumpah dari langit langit kamarku..

Dia, perempuan itu yang sebelum hari kemarin adalah seorang sahabat dari sahabatku, yang kukenal seketika waktu. Ia sering bercerita tentang cintanya yang tak bisa mati walau telah bertahun tahun berlalu, cita citanya membuat toko roti dan kue kue, walau ia mengaku tak terlalu berselera memakan roti. Ia hanya menyukai harum mentega keluar dari panggangan dan menghiasi bentuk bentuk kue dan roti di lemari dari balik kaca. Lalu menghirup limun kesukaannya sembari menanti loyang berikut keluar dari ovennya menyemerbakkan wangi.
Ia perempuan yang tak banyak bicara namun dahinya berkerut senantiasa seakan menyimpan banyak timbunan benak yang tak pernah diungkapkannya dari bibirnya.
Ah, bibirnya, itu pertama kali yang membuatku tak jemu berbincang dengannya. Senyumnya tak simetris sempurna namun menebarkan rasa yang saat ini begitu kental menyumbat dadaku.. rasa yang manis, hangat dan lembut. Ah, persetan dengan rasa. Bibirnya menggairahkanku, itulah kejujuran.

Walau tak pernah terlintas di inginku mencumbuinya seperti semalam. Tak bisa kusangkali hadirnya menjelajah angan liarku. Dan sosoknya menggodaku. Persahabatan kami yang jadi benteng paling kokoh menghindarkanku dari impulsi impulsi yang mungkin tak selayaknya mendarat di benakku. Aku mungkin binatang namun kehangatan persahabatan kami mengajariku satu hal, bahwa ia manusia yang harus setia kuhormati sebagaimana manusia. Seperti ia telah menghargaiku sebagai manusia walau aku ini sesungguhnya binatang.

Namun kabur benakku sarat mengais ingatan akan apa yang membawa semalam terjatuh atasku.
Membawa perempuan itu bercinta dengan tubuhku. Sama sama menginjak injak langit persahabatan yang biru itu menjadi kobaran.
Yang kuingat aku membeku dalam sekonyong dekapnya pada pinggangku. Terdiam dalam belai lembutnya pada tubuhku. Namun akhirnya bangkit juga melawannya ketika dengan bibirnya ia mulai membelaiku..
Hal berikut yang kuingat adalah sebuah rasa di dada yang sekejap melukiskan semesta yang seketika teduh menyatu dalam genggam dan dekap kami yang tak berkeujungan. harum kulitnya, deru nafasnya, geliat lembutnya

Aku tak mengenalinya lagi. Ia bukan sahabatku, ia bukan perempuan, ia bukan manusia, bukan juga kekelaman malam yang memangsaku dalam berjuta keinginannya.
Siapakah dia?
Yang membawakanku semesta dalam denyut jantungnya. Ia bukan orang yang sama yang kukenal dalam bias bias gambar akan bincang kami. Dalam seketika ia menjadi sepertiku, binatang liar yang meraung pada bulan yang bersinar sabit juga dalam dirinya, kemudian seketika waktu ia mengerut susut jadi gadis kecil tak berdaya yang membangkitkan berlaksa tentara menjaganya dalam hatiku. Memaksa namun juga menyerah dengan manis, Berlari dan Melayang sekaligus mengemis untuk didekap pulang..
Siapakah dia?
Menghisap habis semua kekuatan yang ada padaku dan menggantinya dengan sayap sayap impian lembut yang kubenci, yang menjadikanku koyak tanpa daya di hempas deras sungai emosi yang haus, menjadikanku bersentimen dan tak putus putusnya bernarasi seperti bukan laki laki.
Menyihirku jadi mahluk asing yang entah apa namanya di sebuah pagi yang telah ditinggalkannya.…


……

Ia perempuan sama seperti diriku
Tetapi ia terbiasa menyangkali diri, menyangkali hidup, menyangkali keperempuanannya
“Aku tak punya rahim, aku laki laki,” demikian selalu katanya
Namun ia selalu haus akan dirinya yang ditiadakannya..

pergilah jauh dari sini…
pagi merintih dalam gigilnya dan melebur dalam gigilku, berlarilah..
aku hendak melepaskan segala benak celaka yang menjadi cakar merobekkan ruang-ruang hatiku..

Aku tidak tertidur semalaman. Aku memandangi wajahnya yang lelap dari rongga dekapnya yang hangat. Mengerut seperti kanak kanak aku mencari teduhku dalam meleburkan hangat wajahku di dadanya. Kemudian datanglah ular ular itu mencuri di firdausku. Ular-ular dari ranjang-ranjang masa lalu.

Mulanya hanya sebersit kenang akan kehangatan di bawah langit yang lain, kemudian sebersit wajah, kemudian sepotong demi sepotong adegan yang datang dalam paralel di benak, dan wajah wajah lain berhamburan… menerkamku dengan dakwa dan siksa akan berbagai makna, dan carut marut perjalananku saling menguak dan berdarah..
Malam ini seperti malam malam yang lainnya, diriku saling menikam dengan aku, berebut waktu dan berseteru.

Aku bangkit, hendak menepis badai yang menggemuruh dari sunyi kepada kesesakan ku
Apa yang telah kulakukan?
Aku menunduk dalam, namun disana pun kutemukan kedua buah dadaku mendakwaku..
Dan aku tertuduh yang harus menutupi wajahku karena malu

Bagai air mengalir mengenangi jiwa dakwa demi dakwa itu menguntai dalam sunyi..
Bukankah ada satu cinta yang tak bisa mati dan bukan disini, bukankah segala sepi telah kunikmati, bukankah atas nama birahi telah kujelajahi ranjang demi ranjang laki laki, dan kini..
menyetubuhi bagian dari diri, sahabatku dan ia bahkan bukan laki-laki..

Aku pun berlari sekencang apapun yang ada di bumi, hendak meluluhkan diri dari cercaan dakwa yang menghinggapiku seperti serangga serangga yang menyengati dengan bisa yang membakar sakit kulit tubuhku yang kedinginan.
Berlari, melepaskan diri dari bayang deraian kecup, dekap, belai sepanjang malam..
Berlari, hingga hilang segala sakit tak terperi
Berlari, berlari dan memejam..
berharap sesuatu kan menabrakku hingga aku mati

Ia perempuan..
sama seperti diriku