catatan gencatan senjata

Kami tak yakin bahwa kami tahu arti hidup terjajah, tetapi di taksi tadi kami mengingat 30 tahun lebih hidup dalam siaga perang. Mungkin sesederhana tak ada yang sungguh menjajah atau terjajah. Walau seringkali rasa tertindas itu menghimpit begitu jernihnya atau hasrat menjadi tirani kadang begitu kentara lapar dan melahap-lahap sembrono pula bersamaan. Awalnya selalu gelisah yang tak pernah dijuduli, perseteruan yang tak terindentifikasi kubunya. Kemudian alasan-alasan yang ditambal-tambal cepat dan penyederhanan yang naif untuk semua pihak--ketika pihak-pihak itu membelah dari kami. Lalu segalanya terdistorsi--jika tidak terkorupsi dari kejujurannya sendiri. Beranjak menajam secara alami seiring kami atau kami yang mulai semakin ahli memilahnya. Kubu yang jelas adalah pihak yang selalu rajin merancang pendamaian untuk stabilitas sementara, kemudian pihak yang kentara lain adalah pihak yang selalu menegasikan segalanya. Teritori baru akan diklaim dan teritori akan dinamai. konflik bertingkat dan berkembang sesegera satu tahap terdamaikan atau ternegasi. Energi-energi tersedot ke kedalaman oleh sejenis Vacuum cleaner di dalam poros dada, seperti lubang hitam kecil di solar plexus yang sekecil apapun, serta merta melahap. Lalu jadi tawanan di kedalaman yang kami besar-besarkan.

Kami memperhatikan dengan iri orang-orang yang berkeliaran merdeka seperti gagasan akan peperangan tak pernah ada di negeri-negeri mereka. Kami tak tahu apakah itu medan yang sebenarnya, apakah itu tahap lanjut sertamerta dalam evolusi dan kami dunia ke-3 yang melangkah maju dalam kebohongan, penuh tambalan, trivial dan remeh temeh. Kami tak hanya iri, kami pun membenci karena mereka beruntung dan tidak mengerti, tetapi di saat yang sama kami pun cenderung mencintai apapun di luar sana yang bukan seperti kami, berkeliaran bebas, beruntung dan tak mengerti. sekaligus pula membenci hal di luar sana yang sepertinya memahami peperangan ini. Membenci sekaligus mencintai. Rindu menjadi apapun selain kami. Dengan cara ini juga kami terjajah dan silih menjajah di dalam diri.

Mengapa kami berjarak dan hanya iri? mengapa kami tak serta merta menjadi?
Orang-orang berkeliaran merdeka adalah gagasan asing yang kami cekokkan pula ke diri sendiri. Kami pun berpretensi untuk berkeliaran merdeka dan memindahkan medan tempur kami ke seharian dan jalan-jalan, namun kami tak sungguh pernah menjadi, karena itu bukan kami. Lalu kembali hempas amarah dan lagi-lagi saling membenci. siaga perang pun menajam lagi. apakah kami benar terjajah oleh kami sendiri? Bagaimana dengan berkeliaran bebas di dalam kami? tanpa merasa terancam, menikmati hidup tanpa ranah dalam dan luar, tanpa tercekam gerilyawan negasi dan hantu-hantu pelahap yang membenci. Hantu-hantu yang sebenarnya kami.

Barangkali, ini bukan soal penerimaan atau masalah koeksistensi, karena kami tak terbelah hingga perlu pengelolaan eksistensi. Kami ingin senantiasa keluar dan lebih banyak menyukai atau mencintai daripada terhisap ke dalam dan membenci namun pintu-pintu seringkali dipalang dari sisi dalam dan dikunci.

Pilihan seringkali adalah omong kosong, kehendak bebas juga omong kosong seperti halnya determinasi, kemanusiaan atau anti-patriarki. Kami selalu memilih berkeliaran bebas di dalam dan medan perang seolah ada di luar, tapi yang kami dapatkan hanya delusi kebahagiaan, perjuangan untuk kebaikan, hal-hal yang luhur tahi kucing dan candu keyakinan bahwa segalanya akan baik baik saja. Itu pun kami hidupi dan itu bukan kami, tidak pernah kami. Kami selalu memilih seperti orang berkeliaran bebas yang beruntung dan tak mengerti, ya, kami rindu menjadi mereka yang asing itu, namun pilihan pun jadi gagasan asing yang kami paksaan. Kami terjajah oleh gagasan keterasingan kami.

Comments