Catatan dalam "Stendhal Syndrome"

ini adalah catatan ketika ku sekonyong bangun dari tidur.
Waktu yang amat panjang untuk tidur dan terjaga lalu hidup dalam tidur dan terjaga itu menyamarkan batas keduanya.
Sering aku tak sungguh terjaga ketika bangun atau hidup. Sering aku lari dari hidup yang terjaga dengan tidur ketika bangun.
Tidur dalam larut kerja berkepanjangan, tidur dalam memilih pengabaian, bermimpi sambil hidup sehari-hari atau semata memejamkan mata dari sadar, dari hidup, untuk lari, untuk jeda, untuk kemalasan menghadapi. Karena sesekali berjalan hidup sambil memejamkan mata terhadap segala lebih mudah daripada bangun dan menghadapi hari. Seperti kanak-kanak yang memejamkan mata ketika takut atau sedih lalu hanya mengucap segala permohonan atau sekedar menangis mengusir segala yang ofensif dari keterjagaan hidup, atau memejamkan mata menanti kejutan atau memejamkan mata ketika mata mengirimkan pesan bahwa ia telah kelimpahan sensasi keindahan dan kita memejamkan mata untuk menghindari terbenam yang menerima, menelan hangat seperti teduhan siang.
Terjaga dimana mimpi buruk atau mimpi indah tak sekedar lenyap ketika bangun tapi harus dihadapi. Bangun dalam jujur, bangun ketika hidup dan sungguh hidup dalam bangun.

Tidur yang terjeda itu sarat akan dirinya. ketika kutemukan aku tengah terjaga. Sebuah terjaga yang sempurna ketika ia masih lelap, sementara pagi jelang siang cukup teduh di jendela kamar. aku bisa memandanginya cukup lama untuk mengguratkan dia dalam ingatan. Walau tak cukup untuk bertahan berpuluh tahun lamanya. Ia dan beberapa ia lain yang lelap di kasurnya, ia yang antara pejam tidurnya dan jejak bincang sebelum lelapnya  membuatku melihatnya seperti bukan ia yang karib kukenal. Aku melihat ruang, jaman, rumah, laki-laki, perempuan, dan kanak-kanak yang semua adalah dirinya. Tahun-tahun aku mengenalnya sebelum aku mengenalnya. Dalam lelap ia bersilih lebur antara gelora dan keteduhan, laki-laki dan perempuan dan ketika aku memalingkan pandang yang tertinggal di citraan tidurmu, hadir lelapmu kanak-kanak yang ramping bertulang jenjang, seperti bertahun silam telah tidur dengan celana pendeknya, lelap dengan kaki tangan lentang ke segala arah, lelah seperti habis main di luar rumah seharian. Sebuah terjaga yang membuatku memandangnya sekilas namun sanggup merekamnya di benak seakan dalam durasi berjam-jam dan berbulan. Tetapi aku tak hanya memandangnya berlama-lama, aku menginderai hadirnya, mendengar nafasnya yang teratur di kulitku dan ringkuknya di punggungku, debar jantungnya yang menggetarkan pelan helai halaman buku yang kubaca sembari menunggui ujung pejam nya. Aku mengalami lelap tubuhnya dan mengintip ia yang lain yang apung terbebas dalam tidurnya.
Sebuah terjaga bisa demikian jernihnya hingga aku tersedak oleh teduh yang derasnya yang berkepanjangan. Aku tidak tahu persis apa yang membawaku terjaga ke ruang-ruangnya, menemukan tidurnya, karena aku memejamkan mata dalam perjalananku ke sana. Memejamkan mata karena kebencianku akan hidup, atau sejenis amarah atas harapan yang tanpa ampun menjalar seperti kode genetik yang tak mungkin dibatalkan.
Memejamkan mata dalam tidur yang tak kunjung datang. Lalu aku terjaga walau aku tak pernah sungguh tidur dalam pejam, terjaga jernih dan gemetar. Karena aku juga yang membiarkan diriku datang ke ruang-ruangnya di mana kutemukan aku lama mendahuluiku di sana. Bertutur seperti air terjun tentang segala. Bercerita seperti gambar lelap tidur yang kulihat di kasurnya, entah gambar apa itu di dadaku dan atau wajah-wajah itu, wajah yang kukenal terlebih dulu, wajah kanak-kanak itu, perempuan itu, laki-laki penuh gelora itu, wajah-wajah darimana aku berhasrat tarung atau lari atau berserah dimangsa, karena ia ancaman yang akan menawanku dan dalam tawanannya aku akan kehilangan api perlawanan atau keinginan meloloskan diri dari belenggunya. Aku yang mendahuluiku dan kami masih saja bertemu dalam keterjagaan itu. terjaga yang sempurna ketika tidurnya masih lelap sementara pagi jelang siang cukup teduh di jendela kamar...

Comments