Kutowinangun

: untuk Idaman andarmosoko di hari ulang tahunnya


Pernah, di suatu terang jendela, aku mengirimkan sms yang berisi nama sebuah stasiun yang barusan kubaca dari balik jendela. Nama yang segera berubah menjadi kode-kode biner yang pada akhirnya menjadi kode-kode emosi atau sekedar perayaan memori buat kita, paling tidak buatku.
Nama stasiun yang ini mungkin tak akan pernah berbunyi di ingatanku walau aku pernah mendengarnya. Tetapi di suatu terang jendela hari itu aku sengaja memetik nama itu dari sekian banyak stasiun yang kutahu akan kulewati di perjalanan ini. aku tahu benar sebuah sms bertuliskan satu nama itu saja akan cukup untuk sesuatu, atau sekedar cukup untukmu.

Aku tak pernah mengingat atau memperhatikan nama stasiun-stasiun kecil antara jakarta dan Yogya. Sampai suatu ketika ia membuat sajak dalam nama sebuah stasiun yang terdengar seperti sebuah nama dari Jawa Barat. Nama yang terdengar bagus selayaknya puisi. "Kertasemaya" sebuah stasiun dekat Kerawang. Dari nama itu ia menuliskan sajak panjang tentang keberangkatan, kadang aku mencurinya diam-diam dan menjadikan nama stasiun di puisi itu rumah pulang ingatanku, atau setidaknya batu penanda, titik singgah perjalanan. Sejak itu, aku tak pernah lupa nama stasiun itu. Kamu memilihnya terlebih dulu, lalu pada terang jendela hari itu aku hendak memilih nama stasiun yang lain.

Salah satu hal yang hadir di perbincangan pertama kita beberapa tahun silam adalah jumlah 748 persimpangan rel yang dilewati kereta dari jakarta menuju Yogya. Ya, ia menghitungnya Juga menghafal nama-nama stasiun kecil yang dilewati sepanjang 748 persimpangan itu. Bahkan Search engines manapun belum mendata informasi itu kecuali barangkali jika kita menghitungnya sendiri lewat google earth. Sejak perbincangan pertama itu perjalanan kereta apiku tak pernah sama, tetapi kami ternyata adalah penumpang di kereta perjalanan yang sama. Baru saling kenal mengobrol di suatu gerbong perjumpaan. Memang sudah saatnya saling berbincang walau sama-sama asing berhubung tujuan kereta perjalanan kami masih sebuah teka-teki. Konon jika gerak perjalanan itu konstan, kita tidak akan merasa bergerak kemana-mana. walau pemandangan sawah, pipit dan motor berkendara diantara lanskap liuk ladang yang menghampar tak putus itu menunjukan suatu pergerakan pasti di balik bingkai jendelaku. Kadang teka-teki semakin melebar dan kompleks--dimana national grographic investigate supposed to step in tapi itu tak terjadi--kadang aku ragu apakah dia bersamaku di kereta yang sama ataukah ia di keretanya sendiri, bersisian tapi menuju ujung yang entah barangkali berbeda. karena deru kereta selau terdengar lamat ketika langkah langkahnya dekat

Masih di dalam kereta, entah sama atau berbeda, kadang kami menunggu taksi, keledai, mengendarai kereta atau pesawat untuk pergi dan pulang dari banyak tempat, berpisah, rendevouz, hingga tinggal seatap menggulirkan hari-hari dengan pekerjaan, kesibukan, kebersamaan, dan dulu sekali waktu, dengan puisi.

Puisi sedang vakansi, demikian kami sependapat menjelaskan kemacetan kami menulis. Walau diam-diam tak masalah baginya karena ia mengerti termodinamika. Tetapi ia tak pernah absen menuliskan puisi untuk ulang tahun sahabatnya. Walau imannya kepada puisi pelan-pelan memudar seiring ia menyaksikan orang menyapu di sebuah galeri lalu tertawan oleh puitisnya performance art. Demikian untuk tetap menulis puisi-puisi ulang tahun itu ia harus berjuang seperti anak muda memaklumi orang tuanya yang renta dan rewel. Setelah itu semua ditaklukan, puisi-puisi tetap vakansi, setidaknya untuk aku.

Di jendela terang kereta hari itu aku sengaja mencari satu nama stasiun. Sebuah kode sandi efektif yang akan menyampaikan pesan bahwa aku tengah dalam perjalanan ke Yogya dan tak sempat menitipkan rumah atau tagihan listriknya, Juga bila dipecahkan dalam metode lain bisa berbunyi "aku mencolek bahumu dari sebuah jarak yang tak ada artinya, mengingat perbincangan kita sejak pertama hingga kertasemaya, Mengingat bahwa hari sebelumnya kamu harus berjuang untuk menelponku ditengah pekerjaan. Mengingatmu merespon sms curhat hal tak penting tentang fantom-fantom cinta lama. Mengingatmu peduli, mengingat puisi-puisi ulang tahun, mengingat pancake, mengingat yahoo messenger, mengingat tangis bintang di atas sprei, mengingat asuransi kematian, mengingat Al dan teori relativitas, Wolfgang Pauli dan schrodinger, mengingat kuanta-kuanta yang tak selesai yang sulit sekali kucerna, mengingat kompleks dan berwarnanya pemandangan jendela kereta-kereta kita yang belum kelihatan datang."

Kalau waktu sungguh akan berhenti tatkala kita bergerak dalam kecepatan cahaya, satu nama stasiun yang kuambil acak itulah kejadiannya. kejadianmu yang tiba-tiba menghentikan macet, walau terpatah aku berhasil mencatat lagi sedikit benak-benakku, setidaknya untuk bekal kereta menuju ulang tahunmu. walau puisi lagi-lagi masih bertahun cahaya jauhnya. Tetapi di suatu jarak tempuh pasti yang kulalui, nama stasiun apapun yang kubaca acak untuk kukirimkan dalam sms itu pada akhirnya juga tempatku singgah, berlabuh tanpa jemu. Stasiun yang bukan lagi "kertasemaya" dan tak akan lagi "kutawinangun" melainkan perhentian kereta-kereta yang menemukan namanya bukanlah semata sebuah singgah, namun sepenuhnya, anugerah. Stasiun yang kokoh yang bertuliskan sebuah cita-cita untuk menanggung tegak dharma, dan sangat fasih mengamalkan namanya. Berdirinya tajam tak berdebu, persisten "like a turd that won't flush" seperti katamu berulang-ulang, terbuat dari karang yang cukup kokoh ketika pasang, stasiun itu, kamu. Bahkan di perjalanan denganmu itu aku pelan belajar membangun stasiunku dari sejenis karang yang walau tak sekokoh konstruk bangunmu, aku berjanji tak akan lagi kurobohkan sendiri.

kamu sungguh teman perjalanan yang ajaib. bukan di kereta ini namun di kereta kita semua yang maha panjang hingga ke chandrasekar limit itu. Kamu penumpang sekaligus stasiun, secarik tiket menuju banyak tempat sekaligus seorang paman yang membelikannya merangkap juga pemeriksa tiket yang menyobeknya. Kamu salah satu jawaban paling nyata dari permohonan-permohonan ulang tahunku yang bertahun-tahun itu, sekaligus juga seorang yang ternyata bisa pula berulang tahun, walau ulang tahun hanya berlaku pada manusia mortal dan kamu bukan sembarang mortal. Lebih mirip seorang highlander atau jangan-jangan Gusti Dharma itu sendiri yang tengah menyamar jadi anjing kampung. Walau aku sama sekali bukan Yudhistira. Kamu barangkali sedang berjalan dengan Yudhistiramu yang aku tidak kenal atau pahami, tapi aku cukup beruntung berpapasan denganmu dalam suatu gerbong waktu. bicara soal nama-nama stasiun, dan jumlah persimpangan-persimpangan yang kamu lalui amat jauh sebelum aku memulai perjalanan apapun. aku bahagia berbagi pesimpangan dan persilangan jalan bahkan bersisian denganmu. tak bisa dikatakan senasib namun setidaknya sesama dalam banyak waktu. sesama anjing, walau kamu jelmaan Dharma dan aku hanya anjing saja. Dari sedikit hal yang aku syukuri, juga dari seekor anjing kampung ke anjing kampung lain yang lebih tua dan buduk, ini semua demi kukirimkan lagi nama stasiun seperti pada smsku waktu itu, barangkali terlalu panjang dengan bumbu omong kosong yang berkelindan dengan semata ingatan atas sms remeh. Kode sandi kita tetap sama, sebuah nama stasiun apa saja antara Jakarta dan Yogya, pesannya sedikit berbeda: kali ini berisi gonggongan dan lolongan kepada bulan demi merayakan hidup di stasiun kita yang hari ini