dengung

Lama serangga hitam itu tak datang ketika malam,
iapun tak lagi datang ketika siang.
serangga yang kepadanya aku kehilangan banyak jalan untuk hadir di dalamku,
serangga yang datang kadanf menyesap dalam-dalam intisariku
kemudian pergi berhari-hari, berminggu dan seperti kelak di kehihidupanku berikut nanti.

dadaku telah begitu gelap dan luas dalam tunggu,
dalam gegabah menutup semua pintu,
dalam putus harap yang jatuh, lalu sembuh, lalu jatuh lagi.
serangga hitam yang berdengung-dengung di telingaku.
dengung yang sulit kudamaikan.
dengung yang mengepakan badai hingga ke jarak yang jauh dan kembali menghantamku justru setelah ia pergi berhari-hari.
dengung yang bernafas serupa nafasku namun asing sama sekali. dengung yang lelah seperti tidurku.

serangga itu jauh, walau ia baru ada di sini.
serangga yang selalu tahu cara merebutku bercinta.
di saat kupikir aku telah menguasai lapar dan haus yang silam itu
di saat aku tak perlu selain hangat bincang dan kekariban.
di saat aku terlalu berdarah dan tak cukup menjadi diri sendiri yang bisa menghasratkan persetubuhan
ia selalu tahu cara membuatku
bahkan di saat aku tengah asing dengan kelaminku
dengungnya dengan sepersekian kepak perdetiknya yang membayar penculikannya dengan penerbanganku.
jelajah dari dataran yang dingin hingga kerinduan leleh hangat itu lagi.
Penerbangan yang dalam usainya aku melarva genjur, berlendir dan merayap untuk melupakan, untuk merindukan, lalu jatuh dalam letargi, dingin dan mati, hingga siklus kelahiran kembali.
letargi yang panjang sebelum datang ia bertamu lagi
dan dengan kegembiraan kanak-kanak aku bersyukur menjamunya lagi.
debar itu lagi, nyala itu lagi, redup itu lagi, jejak perih yang samar yang tak penting lagi. kekalahan, rampasan itu lagi.

setiap tiba ia telah berbeda, lahir lagi dari kepompongnya
namun selalu sama dengan dengungnya.
dengan belas kasihan atau tanpanya.
kini lebih kerap tanpa ampun,
walau ilusinya sekali waktu begitu masif hingga aku pernah terkubur
dengungnya terlalu melelahkan tapi selalu melelehkan.
tapi aku sudah kalah,
setiap kali mengering perlahan dan jatuh kehausan,
terlalu haus dan demikian hausnya aku pun mencuri.
mencuri sesuatu dari diriku sendiri, mencuri pula darinya.
lalu gemetar dalam kopong ulang hilangnya diri.
dengungnya sudah pergi, yang abadi remah melankoli