Celah Tengah Malam

Aku mengenali nafasnya walau ia berlalu di seberang ruang. Aku hanya melihatnya pada sejarak panjang bayang tubuh ketika nyala senja tinggal setarikan nafas sebelum padam. Aku mengenali geraknya mengayun seperti kelopak dedaun belimbing ketika gerimis. Seperti rintik yang sekilas bergerak lambat di jendela namun amat tergesa melabur kilap di pinggan-pinggan klorofil muda. Henyak itu pulas di dadaku dalam ritme yang sama menyerbu kelenjar-kelenjar di sekujurku. memacu debar yang melampaui derap dan bergeming getar di setiap dentamnya. Mengalir seakan layukan kedua lututku ketika tungkai tungkainya terbata hendak melarikan aku kepada sisi setapaknya.
Aku mengenali nafasnya. Selalu saja dingin sejuk tanpa uap hangat yang lembab dari paru-parunya.

Ada satu celah menganga di setiap rentang tengah malam. Suatu celah yang hanya bisa ditemukan oleh seseorang yang tahu apa yang dicarinya di rajah-rajah malam. Ia harus cukup haus harap untuk rela menunggu tibanya, menunggu dan berjaga seakan membidan hadirnya semenjak terang tertidur malam.
Celah tempat frekuensi sunyi mengapung jadi tuaian. Sebuah nganga yang hamil berjuta malam, terperah jadi setetesan ekstrak yang pepat. Menitik segetah cerah yang malam.
Celah yang merdeka dari hitungan alur manik kelekangan. Di nganganya sembunyi jawab yang dicari dan dihauskan segala yang tak bisa diucap bibir ataupun mulut ataupun bahasa tetubuhan indera. Jawab apa saja tentang apapun juga. Jawab yang akan menuntas tanpa terurai karena jawab yang terpetik dari celah di rentang tengah malam itu bukan kata, atau bahasa, atau pemahaman namun semata sebuah malam. Malam yang sanggup cair dan resap dalam kapiler spons kehidupan. Celah yang adalah muara segala malam yang pernah ada. Malam yang bukan semata gejala cahaya di atap langit, namun malam yang surup menghirup tandas kolam beriak keinginan, kerinduan, kehausan yang menungggu pemenuhan. Malam yang jika ditadah setetesnya ketika jatuh menjadi teduhan kekal. Menjadi jawab yang lampaui segala tanya.

Malam itu aku bisa mendengar kau bernafas di sisi bahuku. kita berbaring menunggui celah itu seraya mengeja alfabet berkerlip di langit dari bawah atap kamar yang dipenuhi harum sejuk nafasmu. Atap dan eternitnya tembus pandang tak menghalang. Dalam jaraknya yang begitu luang kita gamang. terapung diantara dedebuan cahaya di langit dan atas kasur sembab yang gamang akan apa yang tengah gemuruh.
Kita menunggui tengah malam. berjam-jam kita menunggunya dan celah itu tak kunjung menganga. Kita begitu putus asa mencari makna, dan menunggu celah itu menyelesaikan semua jawabnya. Jawab dari tanya yang tak henti beranak pinak dalam gelisah dan engah yang bercucur sebentangan jarak aku berlari. Sejak kudapati diri yang tiba-tiba telah melimpah ruah dengan darah dan hidup.Hadir dengan tubuh serupa manusia namun tak sama seperti mereka.

Aku seserpih sadar yang menyeruak kasar, lepas dari sebuah peperangan hebat di dalam sebuah dada. Ada yang terbunuh dan yang membunuh pun hidupnya tinggal bersisa raga. Dan aku semacam nyawa angkara yang menyanding cacat lelehan lenyap sebuah perkasa. Dari negri-negri yang tersembunyi di dalam diri. Negri-negri yang tak kuingat lagi. Aku serpih yang gugur, mati dan barangkali tengah menjalani hidupku yang kedua kali setelah mati sebagai bukan aku lagi. Aku berlari lari tak mengerti dan kemudian hari itu aku melihatmu pertama kali.

Aku langsung mengenalimu dari nafas itu. Nafas yang sejuk dingin sesejuk nafas terakhir seorang perempuan sebelum tangisnya terhenti. Sebab dari kesadaran itulah engkau terlahir, hingga kau seperti langit musim yang selalu berakhir. Bergerak seperti gerimis dan pergi sehalus embun yang sesaat saja lalu tiada. Kau bicara dalam bahasa alih udara hangat ke sejuk di usai hujan, seperti beku yang sublim seberlalunya badai, mencengkeram genggam sepekat awan yang menyimpan petir. kau tak tahu apa itu cinta, seperti aku juga tak tahu. karena kita berdua hanya seserpih entah dan bukan manusia walau aku dan kamu pun tak sama.

Kita berdua serpih tak lengkap yang terjatuh dari mereka. Manusia yang terguncang sedemikian atau tertumbuk bentur dan termemar hingga melelehkan sadarnya keluar berceceran. serupa jerit, rintih atau darah, liur, mani ataupun peluh. Kita lahir oleh pecah-pecah kesadaran yang begitu kuat yang sanggup melampaui jasad retak, membangkitkan "manusia" asing yang tak penuh bertubuh. Manusia yang sadarnya menggugur dari wadah raga manusia induknya lalu lepas mandiri mengais-ngais mencari jiwa. Sebagaimana Kita pun begitu haus akan jiwa sesobek dirinya, begitu lapar akan sadar yang melahirkan kita serupa manusia namun membawa waris guguran semata. Kau beranjak dan membeku setipis nafas sejuk dingin dan gerimis. Aku hanya membatu serupa segala yang padam dan mati bertubi.

Malam itu semua suara mati ketika kita begitu sungguh mengucap doa demi celah itu agar membuka. Agar kita dapat masuk ke dalamnya dan malam merasuk sempurna ke dalam kita. barangkali dengan demikian kita sungguh-sungguh berada.

Aku menelan sebutir debu sesaat sebelum kedip membangunkan kelok debarku dari atap-atap yang dibawahnya kita berbaring menunggu. Tengah malam sudah berjam-jam membeku, barangkali karena nafasmu dan pada hitung jam yang entah ke berapa kali kau retas pembilangnya, aku telah kikis dalam ciuman-ciumanmu. Lalu Kau diam-diam menuduhku berkhianat karena tak lagi haus menunggu celah tengah malam itu.
Aku memang kehilangan haus itu dihitungan eja alfabet bintang ke seratus sekian pada kelegaman. Ketika aku terhenyak oleh udara yang kuhirup yang adalah nafas mu. Mendapati segala eja menjadi mantra yang sia-sia. lalu aku mulai menghitungnya dari setiap butir gerimis yang lekat di rambutmu. Tak lagi tengadah pada atap transparan di kamar itu namun menatap tembus pada sisi bahuku, tempat sandar kepalamu di mana semesta berporos dalam nafas sejuk itu. Dan aku melihat nganga yang menjatuhkanku ke dalam ruang maha-tengah-malam yang berlongsoran jawab dalam lenyap rasa hadirku. Genap ke dalam materi-materi gelap angkasa berpusar tenang dalam poros butir-butirmu.
Teduh itu pun turun mendahului kekelaman pejam dan angguk dalam yang memahami, teduh yang teramat teduh berdentingan seperti sehelai demi sehelai senar yang menguap satu persatu ketika terpetik sekali.

kecewa karena tak pernah kau temu celah itu. kau uapkan dirimu di ujung embun ketika pagi. Akan kau cari celah tengah malam itu sendiri, janjimu. Dan aku tak berdaya mengurai jawab yang resap dari celah yang terbuka untukku di malam terakhir kita berbaring menunggu. ketika aku lepaskan haus harapku demi menoleh pada nafas sejukmu. Kutemu celah adaku dan menemukannya kembali setiap kali aku mengenali nafasmu walau dirimu berlalu di seberang ruang atau seberang jalan. Walau aku hanya melihatnya pada sejarak panjang bayang tubuh ketika nyala senja tinggal setarikan nafas sebelum padam.