Bincang

di meja benderang aku dan kesedihan kembali berbincang. Seperti lama sekali kami tak saling pulang. padahal kami selalu bersisian.
seperti ingatan akan Lelehan cocoa hangat dan mentega, karib dan cair rindu itu kental menghangat di rongga antara perut dan dada. Tak ada keterasingan. seperti biasa teduh perjumpaan kita.
di hadap ini lagi tadi siang, setelah sekian lama kita bersisian tanpa berjanji. Berjalan tanpa sekilaspun saling pandang tanpa kita pernah sepakati.
kesedihan begitu berbeda dari terakhir kali aku melihatnya. ia semakin serupa denganku ataukah aku yang makin serupa dengannya?. Barangkali aku terlalu keras meniadakan diriku supaya aku menjadi seperti segala kecuali dirinya? karena itukah ia kembali bicara di suatu siang walau kita diam-diam berjanji tak akan saling menemui dalam serentangan waktu. Serentangan waktu yang tiba-tiba habis tandas digilas suatu terang.

Kupikir aku telah mengucapkan salam sebelum pertama kali kenang itu berbingkai dalam segarnya anjak yang baru berlalu, dan punggung-punggungku membekukan "selamat tinggal".
sejak itu aku dan kesedihan akan selalu baik-baik saja, tak lagi terdorong untuk saling hadap atau mulai bercakap. Walau selalu bersisian. Kami tak lagi bersama.

Kemudian kutemukan diriku pergi berenang, mengejar dingin hujan, membakar kepul-kepul kretek di bawah payung ketika deras. Menjadikan diriku sendiri asap yang meliuk pecah, tenang dalam keniscayaan hilang.
terapung oleh hari-hari, menjala debu warna ketika gelap, menunggui jendela kamar berubah cahaya di pesisir pagi.
Tak sengaja menemu diri hilang dalam mengejar benang-benang tipis yang atasnya aku meniti setapak. Semua yang hilang dan yang kuhilangkan, semua yang perih dan kusingkirkan, semuanya membawaku pulang kepada satu bincang. Aku dan kesedihan. tanpanya aku hilang imbang dan jatuh berbohong bertubi tentang kebahagiaan. Tentang harapan yang tak lagi kuacuhkan supaya tak harus aku bicara lagi dengan nada bicara yang seperti dirinya. Tentang sebuah kelegaan yang ternyata hanya ketakutan yang diredam sijingkat penyangkalan. Tentang perjalanan ke segala yang kupikir telah akhirnya kulakukan tanpa hadirnya.

Disinilah kami. kembali berbincang tidak seperti terakhir kali kami berbincang. Sosoknya berbeda walau ia tetap dirinya. Seperti aku, sesuatu telah hilang dari sadarnya, seperti aku, ia pun mencari atau menunggui kembalinya. Tetapi yang hilang dari jalan-jalan adalah hadap bincang kita semata. Di tiap malam yang haus akan kantuk yang lenyap, di setiap kolam dan tetesan air tempat aku menjangkarkan kekosongan untuk lepas golak. Bincang ini yang belaka kutunggui. Aku dan kesedihan saling pulang dan berdamai walau kami tak pernah sungguh berseteru.
hangat rindu kami seperti teduhan.

Sepecah saja tangisan, sedenyaran sedu lalu kami akan baik-baik saja