memoar setangkup awan

kenang datang seperti bekapan dari punggung lengah. Menyeret tanpa ampun dimana kita seketika terapung. bukan melayang namun apung ringan perlahan. tipis menenggelam dan kita perahu kertas yang karam akan basah ingatan.
Demikian rembes udara akan serpih kenang, sebuah jabat tangan di bawah lengkung redup yang rawan hembusan. peranginan jelang hujan yang gerah.
Berdirilah entah menemani kibar syalmu ketika kudengar batukmu membuyar dari genggam jabat itu.
aku namakan sudut mu itu seperti nama warna yang leleh cair di kulitmu terjatuh dari lengkung langit hari itu. tetapi aku tak bisa mengingat nama itu.
jemarimu ringkuk kembali dalam catatan-catatan panjang yang kau tangkar dibawah kroma cahaya.
aku memilih untuk melongok ke dalam ingsutmu menyapa catatanmu yang murah hati kau papar di rajah-rajah tubuhmu.
Nama dan nama dan nama semua yang sanggup kubaca dalam sepuhan tanganmu itu riput.

Tahukah kamu ada seribu sembilan ratus tujuh puluh delapan warna langit yang pernah kucatat? aku mengenali warna yang sama berulang dalam komposisi pijar yang berbeda. Demikian tuturmu seraya tengadah berulang pada langkah-langkah cahaya berbias dan berganti rupa di atap kita.
Kau mencatat semua warna. mengkatalogkan kroma cahaya langit. Tiap hari yang katamu tak pernah dalam rona yang sama. itulah pekerjaanmu. Mencatat nama ratusan merah atau ratusan jenis warna nila menghambur ketika senja beterbangan bersama gunjingan angin tentang surga. surga serpihan warna yang kau tawan di serap serat kertas gemeresak, bukumu.

kau duduk tiap-tiap hari, di lutut kemegahan pagi, meretasi tunggu diantara satu warna beralih kepada keterpudaran dan kelahiran warna lain. yang kau namai dengan setia di lembar catatan-catatan yang bertimbunan. punggungmu telah lupa akan ketegakan, karena bertahun kau hanya duduk dan mencatat dan menamai. kadang kau tak mendongak hanya menatap lurus pada halaman catatanmu, dan menunggu warna dari cahaya yang jatuh disitu mewarnai kertasmu dan di bawah bayangnya kau tuliskan nama untuk warna itu.

aku mengingat kroma langit yang jatuh bercermin di danau matamu sesekali redup ditikam terik. tenggelam segala detik, serabut mengakar kata dan jeda demi jeda riak gulana. aku tiba di pesisir dirimu untuk menemui catatan perjalanan warna warna itu. yang adalah anak-anakmu. yang kaukandung bertahun di lengkung atap-atapmu. tempat kita bertemu. tempat apungan hujan menatah konstelasi yang membutir embun di rumputan padang, membulirkan selimut gemintang yang menetes dari kedipan matamu. nyala-nyala berwarna di langitmu yang megah dalam cahaya ataupun dalam padamnya. megah dalam indahnya. indahnya yang rapuh. indahnya yang sedih.

Tetapi aku gamang. karena kali ini kamu akan gugur bersama sepuh terakhir yang pudar ketika beledu malam menggerimis hingga genap kegelapan. karena aku menggerowong dalam tunggu itu di sisimu, mengumpulkan serpih catatanmu yang sesekali tercuri penerbangan angin dan menghambur selembut lenan. menghancur hati ketika seraknya berlalu pergi. aku menjabat tanganmu hari itu untuk bersaksi bahwa langitmu tandas jadi matahari. berkelana di liang liang ku, menaruh sumbu membara rawan. melepuhkan aku perih, tanpa daya selalu kembali ke sudut itu. mencintai sepuh warna yang masih membuah nama demi nama bahkan ketika dirimu berlalu. Anak-anak yang kau angkat dari lumpur cahaya di langit hatimu.

aku letih karena pergimu. letih mengenali jejak pergimu itu diantara buyar kertas catatan-catatanmu. tak sanggup kutanggung absen kita dari gurat tinta wangi pigmen yang mengering jadi nama-nama tuangan benakmu. dan aku bergelimang anak-anak yang kau pilihkan buat hatimu ketika tak seorang pun hendak memilihmu. memakna segala di lengkung langit atap kita bertemu, yang sesak oleh kroma gading dan bias sekelabu beton memepat menahan rindu dari deras hujan yang tak kunjung burai. Sementara ingatan akan nama sudut jenak kita, bercinta diantara nama-nama cahaya, aku pun mendermaga dalam satu nama. hampa.