Sehelai Bulu di Perairan Pasang

Kesedihan berkibaran di temali jemur angin mendung.
noda getah nya mengering di hembus yang sejuk. sejuk yang mendahului jutaan partikel air yang segera limpah terjatuh dari langit ketika mereka menghambur pulang ke tanah.
Seperti dorongan samar aku yang hendak pulang. bukan lagi padamu tetapi darimu.
langkah yang kuayun menyejukkan namun tak terelakkan dingin getir menyurup pelan.
Sejuk dan getir seperti mendung. Jenuh risau yang jatuh berdebam memercik dingin seperti ingatan akan rerintikan pertama.

Aku terdiam ketika kita berhadap bincang di ruang hari berawan. Bukan karena habis kataku atau tak tersisa ruang untukku. Aku tiba-tiba ingin kau yang mengisinya dengan dirimu setelah sekian lama garis hidup kita menyilang. Seperti ruang-ruang yang pernah kita endapkan bertahun lamanya. Aku terdiam bukan karena hilang kata.
Bicaraku selalu tandas dalam berisik dialog yang tak kau baca.
Bukan karena kau buta aksaraku namun karena kau sibuk membacai dirimu.
Kamu masih saja banyak bicara seperti terakhir kita berbincang dan aku masih saja damai terdiam di naung gelombang riak-riak ceritamu, di bebangunan epik hidupmu, yang kaudirikan, kaubongkar dan kau bangun lagi di atas kepulan asap rokok putihmu dan geming poci-poci chinese tea.

“Chinese tea.”

kita pernah mengucapnya bersamaan tanpa sepakat. ketika serentangan tunggu berdenting diatara gemericik air dan sofa lunak oase metropolis itu. Dan itu terulang tak hanya sesekali atau dua. kerap kita menginginkan hal sama tanpa sengaja. Seperti kanak-kanak bersaing akan kepemilikan sekaligus saling berbagi kegemaran. ketika tarik ulur tipis antara bersaing atau mengalah dan ketika kuat, saling menyenangkan hati. seperti warna gaun, seperti juga buku, seperti banyak hal yang sama kita inginkan untuk impian yang berbeda walaupun kita seakan-akan sama.

Sepanjang perjalanan kendara kita di peranginan itu, kau putarkan le jour de la cotĂȘ, bukan buatku. Dan aku tak keberatan mengapung dalam irama hatimu. Tak keberatan ritmemu menarikku mundur pada layar waktu semenjak terakhir aku berkendara denganmu. Kau putarkan musik itu buat dirimu yang selalu bermimpi untuk tinggal jauh dari sini, di sebuah pesisir dengan empat musim yang belum pernah kau kunjungi. Dan aku menikmati khayalmu yang serupa kanak-kanak itu. jernih dan lugu seakan tak sungguh tahu. Impianmu yang tumbuh terajut karena kau selalu larut dalam bayanganmu sendiri akan romantisme yang kita lihat di film-film atau di jendela-jendela berdebu dekat rak bukumu dan aku tak pernah mencelanya atau mengoloknya seperti aku mengolok diriku ketika menjadi seperti dirimu.

Aku selalu memahamimu nyaris seperti membaca diriku sendiri. Karenanya aku tak perlu banyak bicara. Dan kamu pun tahu ucapan-ucapanmu tidak pernah membentur tembok atau pagar-pagarku dan kamu selalu dapatkan waktu-waktu bicara kepada diriku bukan hanya padaku.

Kamu tidak pernah takut debur emosimu itu jadi olok-olok di benakku. Atau kamu tidak peduli cibiran orang akan kecengengan romantisme. karena kita naif, karena kamu bersemangat, karena kamu pecinta, karena kamu semua hal yang aku ingkari dalam diriku.

"Aku ingin mie kangkung dan segelas jahe”
(lalu menyeruputnya hangat seperti menikmati cair rindu yang leleh di perutku)

Kau terhukum dalam penjara melankoli sejak dilahirkan dengan limpahan ninabobok rasa nyalang itu. Sementara dalam dekam kita, aku mahirkan diri untuk lolos. Tetapi kau justru mencintai penjara itu. kau terlalu mencintainya. Menikmati nya seakan tempat itu rumahmu. Aku membiarkan pilihanmu terlebih lagi aku tak tahu apakah untukmu, tanah datar lebih baik daripada penjara melankoli ataukah justru sebaliknya? Itu bagian dari perjalananmu yang tak bisa kubanding dengan jalan-jalanku. Yang jelas aku selalu disini mendengarkan catatan-catatanmu yang tak kau susun runut, spontan dan berdegub hidup. Aku telah belajar untuk tidak buta aksara dirimu. Aku pun perlahan tumbuh menikmati kemampuanku membacamu dan bicara dengan bahasamu.

"Semangkuk mie kangkung dan segelas jahe, keduanya sama hangat seperti dua macam rindu."
(rindu-rindu yang terlalu hangat untuk kuizinkan terampas salah satu)

Wajahmu yang lapar mencerah, Letupmu naik dan turun, ritme semangatmu dan golak lonjak benakmu kau ucap tanpa terbata, walau sesekali kamu melupakan kata, Dalam sendat itu aku yang selalu mendahului mulutmu menangkap benakmu dan tanpa ragu mengisikan ruang kata yang hilang di medan bincang kita itu untukmu.

Melihat arusmu aku melihat arus diriku sendiri dibawah permukaan datarku. Semua jadi nyala dan bersuara di letupmu, aku melihat diriku. Diriku yang tanpa pagar, tanpa pertahanan.
Seperti aku yang tanpa perlawanan terseret arus ke dasar legam seorang asing. pusaran arus yang terlalu kuat dan tak kulepaskan karena keinginanku pun demikian kuat untuk hanyut. Walau hanyutku itu memar karena aku tak bisa larut ataupun surut serupa pusaran atau arus-arus itu, mememarkan karena memar adalah harga yang harus kubayar untuk tetap menjadi aku.
Aku yang terus terseret pusar arus yang merampasku dari tuturan cairmu tanpa kau tahu.

Kau juga tidak tahu yang beruntuhan di bawah cerita-ceritamu tentang masa lalu dan masa depan. Ketika langlangmu ranum tentang yang tidak kau ketahui tentang dirimu yang kini dan apa yang kau harapkan dari masa depan ketika kau tidak tahu tentang masa kini. Seperti kau tidak tahu yang diam-diam bergerilya di langit benakku, yang bergerilya di bawah untai untai katamu, dan yang bergerilya di balik terik pedih mataku yang lepaskan kembaranya sendiri kadang jauh meninggalkan celoteh narasi karibmu. Aku terkadang seakan berkhianat pada curah kisah-kisahmu. duh, maafkan aku, tapi andai kamu tahu, kamu pun akan memahami itu seperti aku terbiasa membacaimu huruf huruf di matamu lebih dari ocehan bibir cangkir kita bernoda lipstik yang lelah karena kau tak henti mengurai dirimu, bentangan bicara yang serupa diriku yang kusembunyi.

"wajahmu seperti sore dan aku semangkuk mie kangkung hangat yang beranjak menjadi dingin di peranginan bekumu yang menghantui"

ceguk hangat lagi seiring getir itu meleleh diantara dengarku akan celotehmu. Bukan karena hadirmu atau kata-katamu yang sesekali menusuk ke rusuk ku seperti gelagap, penuh ruah kejujuranmu. kau selalu jadi juru bicara kejujuran dengan kepolosan letupmu yang tanpa suara menamparku ketika aku mulai menutup telinga dari mendengar suaranya di hatiku sendiri, kau selalu yang menyaringkannya tanpa kau sadari. Dan aku disana selalu tercenung dan tergagap akan cermin diriku sendiri yang berusaha kupecahkan karena takut. karena gelisah. karena pagar pertahanan yang kubangun untuk melindungi diri. aku begitu pengecut di bawah suar kata-kata mu yang nyaring. Tegak, lantang dan sembrono. aku mengagumi sekaligus memprotesmu berulang kali dalam diriku. Tetapi tak pernah terselip jedamu membiarkan kata-kataku menetes ke keningmu yang mengelupas kering itu dan aku menunggu, menyimpannya buatmu.

"aku haus.."
"kamu tak perlu segelas jahe"
"berikan padaku sisa-sisa teh di poci"
"poci itu tandas di cangkirku"
"cangkirmu dan noda lipstick itu, tadi pagi aku tidak memulas bibirku"

dibawah frekuensi suaramu, aku berperang dalam getar getir alir bayang benakku sendiri.
frekuensi yang barangkali kau tangkap samar di selaput dadamu. ketika aku merasa menjadi seperti hantu dan aku menggapaimu diam-diam untuk menolongku walau tak sepatah katapun keluar dari bibirku.

aku tidak pernah memilih menjadi seperti fantom yang dilupakan oleh masa ketika berlalu.
Tetapi aku bersedia menjadi hantu-hantu itu demi satu hal yang barangkali hanya kau yang naif dan aku yang bodoh membiarkannya baranya erat tergenggam dan melepuhkan.
Kita selalu kehilangan diri karenanya dan kita merelakan diri-diri yang hilang itu demi kenaifan yang tidak pernah remeh untuk kita.

aku tersenyum. Sembunyi dibalik punggung narasimu dari sekelebat kebanggaan yang membuatku terlalu angkuh untuk mengakui lututku yang lemah di arus pusaran yang membawaku terbenam jauh ke dasar mendung. Membiarkan pengakuanku diam-diam menjarah sadarku dari keluh-keluh karibmu dan hanya kamu yang tidak akan mentertawakan cinta. Ketika itu yang kutuduhkan sebagai jawab alasan segala kebodohanku.

Kau tidak pernah peduli menghitung harga kebanggaan dari tidak menjadi seorang pandir.
Harga terantuk bebatuan dan melenyapkan diri menjadi seolah bayang-bayang.
Batu-batu di jalan yang kemudian tersusun bangun menjadi rumah kehidupan. Sementara kutemukan rumahku sendiri di gaung fantom nadirku pada sudut-sudutnya. Aku menumpang tinggal dalam ada dan tiada naungnya.
Rumah itu bukan tempatku, Aku diundang tinggal dalam serentangan waktu yang pemiliknya sendiri tak akan tahu. Tinggalku yang sisihkan kenang sebagai hadir yang tak lekang di bebatuan bangunannya. Seperti sebait, dua bait puisi temtasi oleh hantu-hantu hasrat yang mengalir dibawah hidup. Hidup yang terjalin terlalu sempurna untuk bisa kuretas lagi.

kamu pasti tak mengerti. Mengapa aku nanti akan tiba-tiba bicara tentang hantu. Dan aku akan kesulitan mengurainya di tengah deras alir katamu yang menggulung-debur. Dan kikis benakku dihempas oleh ombakmu dan ombak bathinku sendiri yang menangis penuh gairah oleh badai-badai emosi kita yang berduet dalam nir jeda.

Aku memilih menyimpan bincang itu sekali lagi dibawah frekuensi dengarmu, dibawah arus deras kata-katamu, bergerilya diantara sirat bibir dan air mukaku yang tak membeku mendengarkanmu. aku terbiasa menggantikanmu bercakap untuk diriku sendiri, menjadi dialog hantu yang tak pernah terjadi namun meninggalkan jejak gema dan getarnya seperti sentak trauma yang manis ketika aku dikejutkan oleh kejujurannya.

"Bermangkuk-mangkuk Mie kangkung tak akan pernah mengenyangkanmu."
"Dan kelaparan tak pernah surut menggentayangi malam”
"seperti kita.."

(sejenak ruang itu terbuka untuk gelak tawa yang tak kunjung terisi bunyi).

Aku menunggu, kau menungguiku menunggu. Sekali lagi kita tiba di insiden itu.
Seperti dua poci chinese tea dipesan bersamaan di atas meja ruang hari yang berawan.

Jemuran berkibar-kibar seperti kesedihan. Menggelepak tersedak deras angin tanpa teduhan.
kamu telah menumpahkan sisa chinese tea kita di lanskap mendung. Kemudian aku mulai merasakan kosongnya membawaku ringan dalam lepas tanpa pedulikan hembus sejuk yang resah. Seperti bayang itu buatmu. seperti hantu atau semata mahluk tanpa preposisi. Seorang hantu? seekor hantu? atau sekedar hantu? hantu yang dibicarakan semua orang namun hanya disapa oleh segelintir yang dilahirkan untuk menyapanya. Tetapi barangkali hantu-hantu pula yang memilih segelintir mereka..

"aku harus pulang, mengapa hari tak kunjung malam?"

Kamu pergi di setandasnya cangkir, sebelum aku sempat luruhkan padat awan di dadaku itu ke tanah-tanahmu. Kemudian mendung seolah tak akan pecah, dan rotasi henti dalam langit yang selamanya menunggu, siang atau malam yang kehilangan rupa di permukaan teh kita yang mengampas. Tetapi kau masih saja bicara ketika kau tiada.
Hingga aku rindukan tanya atas celoteh yang masih bersahut di kepala. Sungguhkah dirimu atau aku mendengar riak-riakku sendiri yang kukuburkan dari jalan-jalan kita, dari tubuh yang kubawa dan kuseret dihadapan segala. Rapat menyembunyikan ceruk sedih yang lepuh beerupsi seperti percik dirimu di sepanjang suatu jelang.

Jejak lipstikmu kuusap ketika membilas cangkir kosong dengan ampasnya di peranginan jelang hujan yang tak kunjung datang. Aku terjaga telah mengabaikan bicara-bicaramu dan membangun narasiku sendiri diatasnya, menjadikan kata-katamu pijak sebelum aku beterbangan meninggalkan beranda sadar kita, mengundur diri ke ruangku sendiri.
Surut dari bayangku akan kecewamu sejak aku meninggalkanmu terlebih dulu walau tubuhku masih tinggal mendengarmu.

"aku tak mendengar kalimatmu yang terakhir"
"aku tak mau mendengarku mengucapnya lagi"

Kau pun mengering dan aku menguap. Kita barangkali terlalu banyak bicara. Kamu dan segala ucap bibirmu, aku dalam riuh rendah di kebisuanku. Kita jadi terlalu berat dan penat oleh kata. Gerah ditekan Jutaan butir air yang masif dan menjenuh pengap jauh diatas ubun-ubun kita. Mereka tak tahan lagi oleh gerah keinginan menghambur jatuh memeluk tanah. jutaan mereka yang mengeluh padaku akan uap chinese tea kita, menyerakan serpih kata-katamu dan catatan golak dibawah permukaanku.
Mereka terlalu sarat akan masif jutaan serpih yang seperti kita. Mereka terhukum oleh sisa chinese tea yang menuturkan lagi pikiranku, pikiran kita. Mereka renta, tertempa masif cerita dari cair berjuta cangkir atau percik aksara. Aksara bakal embun yang endapnya genang dalam menunggu jatuhnya. jutaan mereka yang haus rindukan rebahnya kembali ke talang-talang berdentingan, rindukan pulangnya ke langit, bahkan sebelum habis rindunya terjatuh ke liang-liang bumi. Namun raksasa waktu tak murah hati biarkan rontoknya tuntas dan basah. Menyudahi dialog demi dialog tak berujung antara aku, aku dan kamu, kita yang terlampau telah, terlalu banyak bicara dalam bahasa masing-masing. Tanpa banyak berpaling, punggungi memar cecar kerinduan dan kepulangan. Merintikkan kata yang kucerap darimu di suatu waktu:

“Pulang pada ku, bukan pulang dari ku.”



Desember 2003-2005

Comments