Tungau

Teh tawar yang suam itu tercicip rasa debu. Tetapi aku meminumnya hingga tandas semua cairan itu lenyap di geliat peristaltis tenggorokanku. Di dasar gelas masih mengonggok jejaring debu. untai benang tipis kelabu debu yang kuyub oleh cair teh. ada geliat organik yang sulit tertangkap oleh mataku.
tungau, desisku.

***
Ulang tahun tak pernah sebuah perayaan. Semacam ritus menyimpul waktu atau menoreh gores-goresan kapur di dinding supaya aku tak lupa diri akan keterpenjaraan.
Jeruji waktu dengan bayang-bayangnya yang berbaris menimpa tubuhku adalah panjang ingatan, tak bertambah atau berkurang. Dan demikianlah penjara waktu melukis jejak bayang silam yang terus hadir dalam persistensi selagi ia masih tegak menceraikan sisi cahaya dari naungan tempatku berdiri sebagai tawanan.

Pada suatu ritus itu kau datang dan menanyakan apa yang kuinginkan sebagai hadiah. Semacam hadiah hiburan bagi tawanan.
Aku menjamumu dibalik bayang berbaris jeruji penjara itu. cangkirmu bergaris-garis seperti wajah kita. Diantara garis bayang dan terang itu beterbangan debu seperti taburan bintang.
Kutanya berulang engkau siapa sambil menuangi teh suam ke dalam cangkirmu dan gelas kotorku. Kucoba memata-mataimu dari bayang permukaan teh itu. Kutangkap bayang wajahmu dan latar jeruji berbaris-baris yang buyar ketika kuseruput geming pantulnya, berdenyut di tiap teguk teh.

"anggaplah aku yang kau ajak bicara setiap kali kerinduan kau ucap diam-diam sebelum meniup padam lilin-lilin usiamu satu persatu. Kini tak perlu lagi permohonan dibalik bara atas kue tart seperti itu. Katakan saja yang kau inginkan. Anggap semata penghiburan pada peringatan keterpenjaraan" tuturmu di atas permukaan teh itu dan membiarkan gaungnya bergeming ke permukaan gelasku

Aku mencibirnya diam-diam aku tak pernah percaya akan permohonan atas lilin ulang tahun, atau pada bintang yang terjatuh tetapi aku mulai memikirkan apa yang kuinginkan dan tak bisa mencegah pikiranku. Ia bukan semata lilin di atas kue tart atau bintang yang jatuh atau angka-angka yang berulang tiga kali. Ia nyata. Duduk bersamaku meneguk teh itu.

"Apa yang paling umum diminta sesorang yang berulang tahun?"
"boneka, kekasih dan sepeda."

Aku mengangguk, masih menimang pilihan-pilihanku. Semua hadiah itu berwujud. Seperti yang terlintas pertama kali ketika aku mendengar kata "hadiah" dijajakan di koridor penjaraku. Sementara aku mungkin bukan materialis yang jujur. Jika kejujuran memporak-porandakan ilusi pada waktu-waktu serupa ini, yang sungguh kuinginkan bukan hadiah-hadiah semacam itu. Bayang berbaris itu masih lekat di wajahku ketika aku mulai memahat konkrit hasrat-hasratku ke dalam wujud kata-kata jawabku.

"aku menginginkan hati. bukan secara wujud organ yang memompa sungai-sungai darahku. tetapi hati dalam substansi"

"Substansi hati"
Kau bersandar dan menengadah pada apungan dedebuan diantara bayang sinar berbaris jeruji-jeruji.
DI keterdiamanmu berpawailah debarku. Bayang jeruji-jeruji itu bergeser. "hati" atau jantung yang kupunya berdegub, memompa darahku cepat hingga payau udara dalam penerbangan berjuta dedebuan itu terusik oleh dentum-dentum debarnya yang tipis, samar dan tajam.

Kau masih terdiam. Tidak nampak keberatan tetapi juga tidak nampak antusias atas permintaan itu. Timbulah cemas itu. Jangan-jangan aku telah mengajukan permintaan yang bodoh, teridentifikasi singa pada the Wizard of Oz,  atau tanpa sadar kuajukan hanya sekedar hendak menguji dirimu. kegamangan menelusup dan bimbangku merajalela.
"Aku hanya ingin sesuatu yang tak konkrit. sesuatu yang bisa kupahami tanpa harus kuindrai. kulihat, kusentuh atau kurabai. "
Pembelaan diri dan pemakluman kukibarkan untuk memecah keheningan
seperti yang biasa kulakukan, memberi alasan.

Kau tak bergeming ketika mengajukan pertanyaan
"Mengapa kamu menginginkan hadiah yang begitu rumit, sementara dirimu tak lebih rumit dari orang-orang lain yang meminta boneka atau sepeda?"
Aku menjawab, namun yang menjawab bukan aku, tetapi aku-aku yang lain yang berjaga di garis pertahananku."aku selalu merasa rumit, abstrak dan tentunya aku tak ingin sama dengan orang lain. Aku membutuhkan sesuatu yang lebih dari biasa"

"Tetapi kalian semua sama. sama-sama tak ingin sama."

Bayang-bayang berbaris menggeser segaris bayang melintas di keningku ketika aku bersandar di ujung meja. Kami semua memang sama, dipenjara oleh jeruji dan terseragami bayang-bayang ini. Tetapi kami masih merdeka memilih hadiah yang kami suka.

dedebuan berarak diantara garis berkas cahaya

"kutarik kembali permintaanku"
"Jangan, bukan itu maksud pertanyaanku. Jangan undur dari apapun yang sungguh kau inginkan."
"tidak, aku berubah pikiran. aku tak menginginkan sesuatu yang sudah aku punya."
"Jadi kau sudah memiliki itu? substansi hati? Sesuatu yang tidak konkrit itu?"
"lupakan itu."
"Jadi?"
"Berikan aku boneka saja"
"Aku tak bermaksud mempertanyakan. Tugasku hanya mengabulkan. Mungkin dengan sedikit penasaran. Apakah pertanyaan selalu mengusik pilihan?"
"Berikan aku boneka."

Kembali bergeser jeruji-jeruji waktu dan bayangnya berbaris laju, menit berlalu, ia tertelan senyap dalam air muka yang masih sama.
Aku kali ini yang sabar menunggu.

"Baiklah. Boneka adalah tiruan wujud berbagai rupa. wujud apa yang kau kehendaki?"

Aku terhenyak dalam pecah kalimatnya. Aku tak pernah menginginkan boneka. Seumur hidupku aku tak pernah memiliki boneka sendiri. Tidak ketika kanak-kanak, tidak juga ketika dewasa. Berkelebat berbagai bentuk rupa dalam bayang berbaris beriringan dalam sel benakku. mana yang hendak kupilih untuk kumintakan wujud sebuah boneka. Wajah-wajah terkasih, binatang yang lucu, tokoh-tokoh dalam kisah dongeng.

aku meraih gelas dan meneguk teh yang sudah mendingin. menemukan dedebuan basah di dalamnya.
beberapa bayang garis jeruji berlalu ketika aku terdiam di depan dedebuan itu
"boneka tungau untuk ulang tahunku"

aku masih mendengar denging permintaanku diantara jeruji dan derap bayang-bayangnya juga gejolak gesa dedebuan terbang ketika kau berlalu. Waktu tersimpul di pengabulan itu.
Di bangkumu tertinggal Boneka empuk berkaki enam, bersungut dan bermata hitam seperti tungau-tungau kecil yang tak sanggup kulihat sesaat lalu di dasar gelasku.


3/22/04

Comments

Anonymous said…
substansi hati.

berapa orang yang pernah benar-benar mendapatkannya?