narasi bebatuan malam

Derai kosong itu mematah lagi, nyaring hingga erangnya pekak membisu.

Barangkali lepuh selelehan getah jengah atau sepi? menoda di kerah, meresap ke tengkuk hingga serabut denyut.
Menuai bunyi nafas, tertohok tetes gementing gelisah yang bercucuran dari atap-atap lindapku ketika beranjak jadi pualam.
Sungai Hampa gaung di ruang tengah hari. Seperti disonansi samar kebosanan dan sungai dengarmu seolah padam menyeret surut aku pula kepada padam, seolah kedukaan. Namun biarlah, rindu lebih mahal dari cikal luka.

Golak yang menetas beranak pinak, bermacam rupa, bernama sama: Rindu.
bersalin dari geming kolam bayang yang menyala di sepercik hadir
dan memberingas ketika aku terengah menyelaras langkahmu
menyisip di halaman-halaman waktu, terbentur sesekali di karang-karang itu.
terjaga tengah mengejar bayang berlalu
dari langkah orang asing di keramaian yang kusangka dirimu.

menyisiri buih yang tersisih dari perairan pasang mu
meniti setapak rimba demi rimba sembunyi walau ia tak pernah disembunyikan
ketika kedap hening mengurung ruang antara debarku buatmu dan cemas kan tersesat kita di jejak yang dihapus, diluruh lekang, atau diumbari hari-hari yang bertahta terlalu angkuh.

gegap isak nokturnal menjagai bukan menunggui tengah malam yang tak kunjung lengkap,
menggelisahkan rundung requiem di kejauhan yang merapat jelang, karam, lenyap, tetapi tak jengah setia menetes-netes indah.

sekali kemarin aku terpercik bara yang perih itu,
hasrat-hasrat bertabrakan, kehendak berkelindan, namun tetes itu yang selalu jadi pembelamu dari gugatku,
dan lagi lagi kau terbebas menuang senar hujan di atap lindapku yang telah membeku seperti bebatuan pualam.
mencuri celah rembeskan tetes mengendap, bahkan jauh hari sebelum purnama, sebelum tengah malam atau bintang yang padam. tetes yang terjatuh mengkristal legam dingin, sedia berjaga berabad malam.