laron laron di perjalanan pulang

apa yang bisa terpungut dari sebuah malam yang tak menyimak ketika
langkahku pulang tak lagi disambut kerjapan nyala jalan.
mungkin sayap sayap laron yang membanjir di cakapan angin tak hanya
membual tentang kemarau yang sudah dekat, namun juga mengirim surat
surat dari sebuah kalam bertabur sayap laron yang sudah silam.
Entah berapa kali aku menemukan sewaktu dalam paruh rembulan dimana
laron laron beterbangan rontok bertinggal sayap.
Namun hari ini seakan merontok pula sayap sayapku dalam setibanya waktu.
atau mungkin laron laron itu hanya kebetulan saja bersilang siklus temu.
Ada sejarah yang berubah di selubung jalan yang sama kusetapaki, surat
surat dari laron itu aksaranya sukar sekali untuk kumengerti
namun diam diam aku mengerti dalam hati tentang taburan sayap seperti
hujan di jalanan yang kulewati tadi.
tirai gading hujan sayap mati itu adalah seperti rontokan jiwa yang bersegera
menggulirkan musim musim baru, mengugurkan ketersilaman yang masih
mengganggu seperti kering riput sayap tua yang tak pantang mendengung
dengung.
Laron-laron itu yang lalu gigih menyusup ke dalam kamar kamar dan kolam
sadarku. mengusik tidurku dalam dengung mengundang terjaga sebelum
metamorfosa, dan musimku bersiap mengganti sinar pandangnya atas
belantara yang jauh menyelubung di dasar dalam.
di pintuku menunggui lagi kerinduan beranak pinak jadi karakter karakter
semi pergantian, peralihan..
pancaroba hati yang sesekali tersedak rontok serpih sayap berguguran
esok pagi aku hendak menyapunya dari teras, jalan, dan tiang tiang di tepian.

cecil, april 2003



dermaga

di suatu esok kita pasti berbincang lagi
tentang rumah rumah kosong yang tak lagi berpenghuni
tentang bale bale debu yang pernah hangat sesekali
tentang tapal batas status quo yang tak akan dipertanyakan lagi

aku pulang
dari berlibur di peristirahatan masa lalu
puas lepas lelahku di ranjang dimana tidurku tak penting lagi di situ
meniti lembar lembar mengering yang pernah basah oleh hujan di suatu
kemarin
dan payung payungnya masih tercium sisa kata kata ketika dikembangnya

oleh olehku untuk hidup adalah potret rindunya masa lalu akan hari ini
dengan senyumku membeku dan wajahku narasikan perjalanan yang tak
lagi terburu.
aku telah habis merangkul langit dan bumimu yang kini telah luruh pada
suatu catatan gerimis.

suatu esok kita pasti berbincang lagi
barangkali ketika hidup telah menjadi segala selain hidup itu sendiri
dan kalau penjara waktu tak lagi bisa memaksa manik manik cerita teruntai
alir jadi urutan hulu dan muara akhir

seperti halnya kita barangkali
tiba bertolak di titik tepian kemarin yang menguap retas
dan melayari suatu esok dalam sadar yang seakan tiada pernah bermuasal

cecil, april 2003


anak kecil sinusitis

seorang anak kecil bersin di tengah cenung,
mendengarkan sentrap sentrupnya mungil tersesak sendiri.
anak kecil yang memilih menari daripada olah raga lari
belajar berpuisi dari fasihnya memaki

anak kecilku yang tak pernah pergi
dalam angkuh kelam, namun juga tahu mencintai
ibumu barangkali satu satunya yang tak pernah terbata memahami
anak kecil yang tak pernah kecil dalam tinggalnya di dadaku
sesekali mengurungku bermenung seperti gurun
dan menyulutku bersayap seperti syair

anak kecilku pernah kuinginkanmu untuk lahir dari tubuhku
supaya kau selalu terdekap oleh hangat darah yang sama denganku
dan aku memilikimu selalu dengan kontrak hidup pada ikat janji ari-ariku

namun di suatu rahasia taman bermain di tepian cadas
aku pun susut kecil jadi sahabatmu
rindu mengusap bersin hidungmu dan leleh sinusitis itu
lega tanpa lagi harus menginginkanmu
walau sesekali terjatuh di cadas cadas itu


cecil, april 2003

ruang singgah para hantu

:bungarumputliar

kemarin telah kusapa lagi langit di kusen ebonimu
aku pun tiba memahami dekap hangat di sela terbatukmu
mereka leburan satu titik semesta yang terjaga di bawah tingkapmu
sementara cerah senyummu selalu adalah konstelasi cahaya
deras yang tenang di semesta kasihmu yang adalah daya gravita
yang menyeret tata harmoni di segala yang tercatat pada resap gaung
dinding
setidaknya di karib genggam denting bersama

ah, sayang
ternyata kau yang membuka pintu pintu di lataran cinta
melepaskan terali dari jendela tawanan hati yang tak punya percaya
di talang talang air gebyuran cerita kita
meluruhkan prasangka prasangka larut dalam debur tawa

ke medan dekap di sudut kamarmu telah kau seret hati gamang
dalam orbitmu aku bisa bersandar tenang
berotasi dalam manisnya tata meja makan kenyang
juga dalam setiap sela balok piano
yang terselip ijinmu membiarkanku mencuri dendang

ya, sayang kaulah ruang ruang singgah yang hangat itu


cecil, april 2003