Catatan Suatu Jeda

Aku mengingat ada sayap sayap warna tak kasat mata bertabur seperti hujan di setiap ruang dan jalan.
Sayap serangga, barangkali bukan seperti sayap kupu kupu seperti dalam obsesimu.
Hanya sayap sayap dalam benakku yang tidak terjatuh gugur tetapi mengalir seperti arus penerbangan daun banyan rontok bersama terpa angin di kursi belakang sepeda motor tanpa penerang.
Mereka Jadi warna, jadi belai nyala yang menyisir gerai gerai rambut menitip debu waktu yang tak mau hilang ketika dicuci. menggugat berkali untuk dikenang lagi.
Barangkali juga sayap sayap itu sama sekali tak ada selain di pelabuhan bahasaku yang tergoda
selalu ingin menghias tuturan cair tentang hari hari itu. Hari yang sepertinya tak kita pedulikan baik nama ataupun bilangan tanggal penandanya walau sedang ada perayaan demi perayaan di sana.
Hanya aku selalu tahu hadirnya sarat taburan itu menjadi selimut udara payau dalam gemetar tanganku menoreh sketsa. Sketsa sketsa yang sesaat melarikanku dari keresahan tulisan tulisan kata yang tak kunjung berbunyi.Tak juga meneduh di hening pengap gerah kemarau ketika nafas kita teratur dalam tidur dini hari.
Ada hujan kasat mata yang merintik seperti sedu kesejukan mengalir lebih panjang dari sungai irigasi yang kita telusuri, mengepul menghangati hati di setiap mangkuk jajan hidangan yang tersaji di simpul simpul hari seperti di kepul tembakau tembakau kita sesudah itu.

Tak kucoba untuk mengerti hujan yang tak kunjung datang, ataupun senyap kabut warna yang kasat mata menyelimuti manis pergantian hari. Mengombak dalam sunyi disela jeda celoteh bibirmu, terselip diantara degub jantungku.
Ada arus taburan yang sama beterbangan seperti terpa walang sangit lumbung di jalan potong antara hutan dan sawah. berhamburan seperti serangga yang menyerbu pelupuk mata dan mengantui mimpi mimpi seusai segala.
Barangkali mereka tak lain hanya partikel aksara yang menunggu segenap indera memetik ranumnya jadi bait bait tak terkata. Bahasa yang menunggu terjemah rasa menyuling makna yang mungkin tak perlu ada.
Karenanya barangkali tak perlu seorang pun memahami, betapa lebih rindunya aku mengalir dalam rawan muai dan susut arusnya yang tak terbaca daripada menerka atau memberi nama bagi perjalanan, perjumpaan dan kejadian kejadian
melepas deras catatan catatan dongeng akhir pekan terbawa melayang tanpa hilang
seperti layang layang pada beber puisi yang dibacakan sandyakala buat kita di riak alun alun selatan.


Jakarta,22 april 2002